11 Desember 2010

Seharusnya kita bersyukur, tapi...

Seharusnya kita bersyukur..
Untuk banyak hal yang kita alami dalam hidup..

Kau tahu, banyak orang di luar sana yang begitu tidak beruntung..
Keadaan mereka tak sebaik keadaan kita..

Terlalu banyak anak-anak kecil yang terpaksa berhenti sekolah..
Seperti biasa, hanya karena masalah biaya..
Mereka harus iri dengan teman-temannya yang lain..
"Mereka adalah anak yang beruntung, bisa bersekolah."

Di lain sisi, kita, yang tergolong cukup "mampu" untuk bersekolah,
malah mengumpat, menjelek-jelekkan guru, meludahi buku pelajaran kita..
Hanya karena kita merasa bosan dengan kehidupan kita yang harus terus belajar, tiap hari, tiap waktu..

Dapatkah kau melihatnya?
Sebuah perbedaan yang sangat kontras.

Kau tahu, mereka, yang tidak mampu bersekolah, sangat menginginkan bagaimana rasanya belajar..
Mereka ingin mempelajari semuanya..
Mereka ingin mempunyai buku-buku pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi, Akuntansi, dsb..
Mereka ingin mempunyai alat-alat tulis dan sebuah tas yang layak untuk sekolah..
Mereka menginginkan satu set seragam sekolah, bahkan yang sudah kumal sekalipun..
Mereka ingin mempunyai sepasang sepatu hitam, yang nanti akan dipakainya untuk bersekolah..
Mereka ingin mempunyai bangku di dalam kelas, tempat bagi mereka untuk belajar..
Mereka ingin mempunyai seorang guru yang dapat menjelaskan seberapa luas dan indahnya pengetahuan..
Mereka ingin mempunyai banyak teman dan saling berbagi cerita dengan mereka..

Sedangkan kita??

Kita tidak ingin mempunyai satupun buku-buku pelajaran, apalagi membacanya..
Kita tidak ingin bertemu dengan guru-guru menyebalkan di kelas..
Kita tidak ingin melihat sekolah yang sama, dengan gerbang hijau, gedung yang dicat hijau, yang segalanya terlihat hijau..
Kita tidak ingin melihat 2 papan putih yang terpajang di depan kelas..
Kita tidak ingin melihat sebuah papan ulangan yang penuh terisi jadwal ulangan..
Kita tidak ingin melihat dan menduduki bangku yang sudah kita tempati selama beberapa bulan..
Kita sudah bosan melihat teman-teman sekelas kita, terutama yang menyebalkan dan pelit..
Bahkan, yang parah, kita muak dan mual ketika harus belajar..

Hahhahahahahaha..
Seharusnya kita itu bersyukur bisa sekolah, tapi..
Kita ini loh, ga pernah senang dengan yang namanya sekolah..
Bawaannya pengen cepet libur aja..
Tapi mereka kok begitu pengennya bersekolah?

Heran yah?

09 Agustus 2010

ANGIN


Aku menyukai seorang gadis bernama DAUN. Karena dia sangat bergantung pada POHON, jadi aku harus menjadi ANGIN yang kuat. ANGIN akan meniup DAUN terbang jauh.
            Pertama kalinya, aku melihat seseorang memperhatikan kami. Ketika itu, dia selalu duduk disana sendirian atau dengan teman-temannya memperhatikan POHON. Ketika POHON berbicara dengan gadis-gadis, ada cemburu di matanya. Memperhatikannya menjadi kebiasaanku, seperti DAUN yang suka memperhatikan POHON. Satu hari saja tak kulihat dia, aku merasa sangat kehilangan.
            Di sudut ruangan itu, kulihat POHON sedang memperhatikan DAUN. Air mata mengalir  di mata DAUN ketika POHON pergi. Enaknya, kulihat DAUN di tempatnya yang biasa sedang memperhatikan POHON. Aku melangkah dan tersenyum padanya. Kuambil secarik kertas, kutulis dan kuberikan padanya. Dia sangat kaget. Dia melihat ke arahku, tersenyum dan menerima kertas dariku.
            Esoknya, dia datang, menghampiriku dan memberikan kembali kertas itu. Hati DAUN sangat kuat dan ANGIN tidak bisa meniupnya pergi. Hal itu karena DAUN tidak mau meninggalkan POHON. Aku melihat kearahnya, kuhampiri dengan kata-kata itu. Sangat pelan. Dia mulai membuka dirinya dan menerima kehadiranku dan teleponku.
            Aku tahu orang yang dia cintai bukan aku. Tapi aku akan berusaha agar suatu hari dia menyukaiku. Selama 4 bulan, aku telah mengucapkan kata CINTA tidak kurang dari 20 kali kepadanya.
            Hampir tiap kali dia mengalihkan pembicaraan, tapi aku tidak menyerah. Keputusanku bulat. Aku ingin memilikinya dan berharap dia akan setuju menjadi pacarku. Aku bertanya,”apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak pernah membalas? Mengapa kau selalu membisu?”
            Dia berkata, ”Aku menengadahkan kepalaku...”
            ”Ah?”, aku tidak percaya dengan apa yang ku dengar. ”Aku menengadahkan kepalaku..” dia berteriak. Kuletakkan telepon, melompat, berlari seribu langkah ke rumahnya. Dia membuka pintu bagiku.
           
            ”DAUN terbang karena tiupan ANGIN atau karena POHON tidak memintanya untuk tinggal?

DAUN


            Aku suka mengoleksi daun-daun, kenapa? Karena aku merasa bahwa daun untuk meninggalkan pohon yang selama ini ditinggali membutuhkan banyak kekuatan. Selama 3 tahun aku dekat dengan seorang pria, bukan sebagai pacar tapi ”sahabat”. Tapi ketika dia mempunyai pacar untuk yang pertama kalinya, aku mempelajari sebuah perasaan yang belum pernah aku pelajari sebelumnya. CEMBURU.
            Perasaan di hati ini tidak bisa digambarkan dengan menggunakan lemon. Hal itu seperti 100 butir lemon busuk.
            Mereka hanya bersama selama 2 bulan. Ketika mereka putus, aku menyembunyikan perasaan yang luar biasa gembiranya. Tapi sebulan kemudian dia bersama seorang gadis lagi. Aku menyukainya dan aku tahu bahwa dia juga menyukainku, tapi mengapa dia tidak mau mengatakannya? Jika dia mencintaiku, mengapa dia tidak memulainya dulu untuk melangkah?
            Ketika dia punya pacar baru lagi, hatiku sedih. Waktu berjalan dan berjalan, hatiku sedih dan kecewa. Aku mulai mengira bahwa ini adalah cinta yang  bertepuk sebelah tangan.
            Tapi, kenapa dia memperlakukanku lebih dari sekedar seorang teman? Menyukai seseorang sangat menyusahkan hati. Aku tahu kesukaannya, kebiasaannya. Tapi perasaannya kepadaku tidak pernah bisa diketahui. Kau tidak mengharapkan aku untuk mengatakannya bukan?
            Di luar itu, aku mau tetap disampingnya. Memberinya perhatian, menemani dan mencintainya. Berharap suatu hari nanti dia akan datang dan mencintaiku. Hal itu seperti menunggu teleponnya tiap malam, mengharapkan mengirimiku SMS. Aku tahu sesibuk apapun dia, pasti meluangkan waktunya untukku. Karena itu, aku menunggunya.
            3 tahun cukup berat untuk kulalui dan aku mau menyerah. Kadang aku berpikir untuk tetap  menunggu. Dilema yang menemaniku selama 3 tahun ini. Akhir tahun ke 3, seorang pria mengejarku. Setiap hari dia mengejarku tanpa lelah. Segala daya upaya telah dilakukan walau seringkali ada penolakan dariku.
            Aku berpikir, apakah aku ingin memberikan peluang kecil di hatiku untuknya? Dia seperti angin yang hangat dan lembut, mencoba meniup daun untuk terbang dari pohon. Akhirnya, aku sadar bahwa aku ingin memberikan angin ini ruang kecil di hatiku. Aku tahu angin akan membawa pergi daun yang lusuh jauh dan ke tempat yang lebih baik.
            Akhirnya aku meninggalkan pohon. Tapi pohon hanya tersenyum dan tidak memintaku untuk tinggal. Aku sangat sedih memandangnya tersenyum ke arahku.

            ”Daun terbang karena ANGIN bertiup atau karena POHON tidak memintanya untuk tinggal?

POHON


            Orang-orang memanggilku ”POHON” karena aku sangat baik dalam menggambar pohon. Aku selalu menggunakan gambar pohon pada sisi kanan sebagai trademark semua lukisanku.
            Aku telah berpacaran sebanyak 5 kali. Ada 1 wanita yang sangat aku cintai. Tapi aku tidak punya keberanian untuk mengatakannya. Dia tidak cantik, tidak memiliki tubuh yang seksi. Dai sangat peduli dengan orang lain, religius, tapi dia hanya wanita biasa saja. Aku menyukainya, sangat menyukainya. Gayanya yang innocent dan apa adanya, kemandiriannya, kepandaiannya dan kekuatannya. Alasan aku tidak mengajaknya kencan karena, aku merasa dia sangat biasa dan tidak serasi untukku.
            Aku takut, jika kami bersama semua perasaan yang indah ini akan hilang. Aku takut kalau gosip-gosip yang ada akan  menyakitinya.
            Aku merasa dia adalah ”sahabatku”
            Aku akan memilikinya tiada batasnya, tidak harus memberikan semuanya hanya untuk dia. Alasan yang terakhir membuat dia menemaniku dalam berbagai pergumulan selama 3 tahun ini.
            Dia tahu aku mengejar gadis-gadis lain dan aku telah membuatnya menangis selama 3 tahun. Ketika aku menggandeng tangan pacarku yang ke 2 terlihat olehnya. Dia hanya tersenyum dengan berwajah merah, setelah itu pergi meninggalkan kami.
            Esoknya, matanya bengkak dan merah. Aku sengaja tidak mau memikirkan apa yang menyebabkannya menangis, tapi aku tertawa, bercanda dengan pacarku seharian di ruang iu. Di sudut ruang itu dia menangis. Dia tidak tahu bahwa aku kembali untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Hampir satu jam kulihat dia menangis disana.
            Pacarku yang ke 4 tidak menyukainya. Pernah suatu kali mereka berdua perang dingin. Aku tahu bukan sifatnya untuk memulai perang dingin. Tapi aku masih tetap bersama pacarku. Aku bergerak padanya dan matanya penuh dengan air mata sedih dan kaget.
            Aku tidak memikirkan perasaannya dan pergi meninggalkannya bersama pacarku. Esokya dia masih tertawa dan bercanda denganku seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya.
            Aku tahu dia sangat sedih dan kecewa tapi dia tidak tahu bahwa sakit hatiku sama buruknya dengan dia. Aku juga sedih. Ketika aku putus dengan pacarku yang ke 5, aku mengajaknya pergi. Setelah kencan satu hari itu, aku mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin kukatakan padanya. Dia mengatakan bahwa kebetulan sekali bahwa dia juga ingin mengatakan sesuatu padaku.
            Aku cerita tentang putusnya aku dengan pacarku
            Dia berkata bahwa dia sedang memulai suatu hubungan dengan seseorang.
            Aku tahu pria itu. Dia sering mengejarnya selama ini. Pria yang baik, penuh energi dan menarik. Aku tak bisa memperlihatkan betapa sakit hatiku, aku hanya tersenyum dan mengucapkan selamat padanya. Ketika sampai di rumah, sakit hatiku bertambah kuat dan aku tidak dapat menahannya. Seperti ada batu yang sangat berat di dadaku. Aku tidak bisa bernapas dan ingin berteriak namun apa daya.
            Air mataku mengalir tak terasa aku menangis karenanya.

            Sudah sering aku melihatnya menangis untuk pria yang mengacuhkan kehadirannya. Handphoneku bergetar. Ternyata ada SMS masuk. SMS itu dikirim 10 hari yang lalu ketika aku sedih dan menangis.


            SMS itu berbunyi ,”DAUN terbang karena ANGIN bertiup atau karena POHON tidak memintanya untuk tinggal?


23 Juli 2010

J.Co siapa yg punya??

Siang tadi, salah tiga temanku yaitu Angga, Christian, dan Priscill, berdebat sengit.

Masalahnya adalah : J.CO itu punya siapa??

Awalnya, kami ngga ngomong tentang donat atau roti, dsb. Kita awalnya ketemu, ngobrol2 biasa. Ngobrol tentang film lah, bimbel lah, SNMPTN atau apa lah.. Tapi herannya tau-tau nyambung ke J.CO.. Aneh to??

Christian tuh yg mulai ngomongin J.Co, kata dia J.Co itu punya orang Indonesia. Itu lo, yang punya salon Jonathan (katanya). Nah, Pricill n Angga ga mau kalah. Kata mereka yg punya J.Co tu orang luar. Mereka sempet baca berita, katanya J.Co Indonesia cuma cabang aja. Yang punya mah orang luar negeri, bukan orang Indonesia. Karena aku ga tahu apa-apa, maka aku cuma ketawa-ketiwi liat mereka beradu pendapat.

5 menit berlalu, dan mereka tetep konsisten atas pendapat mereka. Pada akhirnya Angga ngajak kita ke perpustakaan untuk membuktikan perkataan mereka masing-masing. Sampe dibela-belain ke perpus, gara-gara penasaran ama si pemilik J.Co.

Wal hasil, saat kita cari di Google, keluarlah sekian banyak hasil yg berhubungan dengan J.Co. Si Chris langsung nge-klik salah satu link yg ada, yang ternyata adalah wikipedia.

Eh, setelah dibaca-baca ternyata si Chris bener. J.Co tu asli punya Indonesia. Yang punya namanya Johnny Andrean Group.


J.Co dan ownernya seharusnya bangga punya penggemar yg banyak, kayak Si Chris, Pricill, n Angga, dan rela "berantem" demi mencari tahu siapakah owner J.Co sebenarnya.

Tapi, kalo kubilang, sebenernya ngga perlu repot-repot mencari siapa si owner J.Co. Sebenernya aku tau siapa owner J.Co. Berhubung tadi kalian udah berantem duluan, ya aku diem aja, ketawa-ketiwi doank bisanya.

Mau tau siapa owner J.Co yg sebenarnya??

AKU !!

Hakakakakakakakakakakakak ^^v

Juz kidding, phrenz.. ^_-

*NB : Thiz note can be read @ http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest&note_id=136451503052109#!/note.php?note_id=136451503052109

25 Mei 2010

Bangga ngga bangga..

.......................  
" Disana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata "
 -Indonesia Tanah Air Beta-

Bangga apa ngga sih jadi orang Indonesia?
Ya, harus bangga dong. Bagaimanapun negeri inilah yang memberi kita makan dari kecil. Coba kalo ngga ada beras di bumi pertiwi ini, bisa mati kelaparan kita. 

Bangga ngga jadi orang Indonesia?
Bangga, karena Indonesia punya kekayaan alam yang melimpah, ngga ada yang sekaya Indonesia..

Bangga jadi orang Indonesia?
Apanya yang mau dibanggain? Korupsinya? Utang-utangnya? Hukumnya yang ga jelas? Maunya hati nurani saya, ya bangga. Ini kan negara kita. Masak negara sendiri dijelek-jelekin? Tapi kenyataannya, ya saya ngga bisa bangga dengan "prestasi" Indonesia.

Bangga ngga jadi orang Indonesia?
Biasa aja. Bangga ya enggak, ngga bangga ya enggak. 

Berbagai pendapat mencuat ketika mendengar pertanyaan diatas.
Tetapi, sebenarnya patutkah kita bangga dengan Indonesia?

Sebagian orang mengatakan bangga atas Indonesia karena kebudayaannya yang unik, keindahan alamnya yang terkenal di seluruh dunia,  keanekaragaman flora dan faunanya, hasil buminya yang sangat kaya dan melimpah ruah. Sebagian mengatakan bangga karena dia dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia. Seperti melakukan sebuah kewajiban untuk mengatakan kita bangga atas negara kita.

Memang benar. Negara kita adalah negara yang patut dibanggakan. Mana ada negara yang pulaunya buanyakk berceceran dimana-mana? Mana ada negara yang punya berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus suku bangsa di dalamnya? Mana ada negara yang punya adat yang menggunung, kalo ngga di Indonesia?

Bangsa kita ini unik loh. Sekian banyak suku bangsa di Indonesia, yang masing-masing memiliki adat, kebudayaan, dan bahasa daerah sendiri, bisa berkumpul, bersatu dan membentuk satu bangsa, bangsa Indonesia. Dari sekian banyak bahasa daerah, bisa muncul satu bahasa nasional, bahasa Indonesia.

Coba kita berangan-angan sejenak. Bagaimana susahnya melawan penjajah saat perjuangan kita masih bersifat kedaerahan? Daerah sini melawan sendiri, yang sana melawan sendiri. Kebanyakan kalahnya apa menangnya? Pasti kalahnya. Kata pepatah: bersatu kita teguh, bercerai kita kawin lagi. Heh, enak aja! Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Ibarat sapu lidi kalo cuma satu batang yang kecil dan tipis, akan gampang patah kalo dipake nyapu halaman rumah. Meskipun ga patah, ya halaman rumah Anda tidak akan pernah bersih. Ga percaya? Silahkan saja buktikan sendiri di halaman rumah masing-masing, nyapu pake 1 batang lidi. Efek samping ditanggung penumpang. Kalo saya sih ogah.

Tapi, kalo sebatang lidi yang kita punya, dikumpulkan bersama dengan batang lidi orang sekampung lalu dijadikan satu dan diikat kuat, pastilah lidi-lidi itu bisa dipake buat nyapu.
Sama halnya dengan perjuangan kita melawan penjajah dulu. Kalo berjuang satu-satu ya ngga akan pernah bersih dari penjajah. Tapi sekarang, coba bayangkan bagaimana susahnya menyatukan suku-suku bangsa negeri kita yang tentu punya bahasa dan pendapat mereka masing-masing. Si A ngomong pake bahasa Batak, si B nomong pake bahasa Jawa, si C ngomong pake bahasa Bali, wes pokoke campur aduk lah bahasa kedaerahan itu. Bagaimana seorang ingin menanggapi yang lain kalo ngomong aja udah ga nyambung. Herannya, kenapa kita sekarang bisa berkomunikasi dengan orang Jawa, orang Bali, orang Batak, orang Kalimantan, dll? Padahal dulu begitu sulit buat berkomunikasi dengan orang lain suku. Bagaimana cara pemimpin-pemimpin bangsa menyatukan semua perbedaan itu dan mengaturnya sedemikian rupa agar semua suku bangsa bisa bersatu dan melawan penjajah? Bisa membayangkan bagaimana ribetnya membuat sebuah bahasa yang dimengerti oleh orang-orang tersebut? 

Sekarang sih sudah tidak terasa lagi ribetnya. Sekarang kita sudah punya bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional dan bahasa pemersatu. Karena kita sudah bersatu, kita bisa menghalau penjajah pergi dari tanah air kita.

Unik, kan?
Ah, ngga ah. Tetap saja aku ngga bangga dengan Indonesia. Itu kan dulu. Sekarang, liat aja. Apa lagi sih yang perlu dibanggakan dari Indonesia? Keindahan alamnya? Lha wong hutan-hutan ditebangi seenak jidat, buang sampah di laut, gunung-gunung yang dulu warnanya hijau, sekarang warnanya kecoklatan karena pohon-pohonnya habis. Kekayaannya? Kekayaan punya kita, malah kita ga merasakan apa-apa. Kekayaan itu malah kita berikan kepada pihak lain. Trus, apa lagi? Pulaunya yang banyak? Pulau-pulau dipinggiran malah ga terawat. Katanya punya Indonesia, tapi kok ngga dirawat. Kebudayaannya? Kebudayaan daerah semakin ditinggalkan. Kebudayaan asli Indonesia lama kelamaan bercampur dengan budaya luar. Kalau masih menunjukkan kebudayaan khas Indonesia sih ngga masalah. Masalahnya, justru budaya luarlah yang terlalu menonjol. Gimana coba? Apa lagi yang harus dibanggakan?

Bingung ya mau jawab apa? Sama, saya juga bingung. Seharusnya jangan tanya sama saya. karena saya juga ga bisa jawab. Itulah kenyataan yang kita hadapi sekarang. Kita berada di batas antara bangga dan tidak atas Indonesia. Banyak orang bingung harus memilih, bangga atau tidak. Apalagi melihat keadaan sekarang yang jelas-jelas bisa kita lihat dan rasakan sendiri. 

Justru dengan melihat keadaan yang terbalik 180 derajat dari keadaan dulu, kita seharusnya berpikir bagaimana cara mengembalikan Indonesia ke jalan yang benar (maksudnya menjadi Indonesia yang seperti dulu lagi, slalu dipuja-puja bangsa lain). Ngga cuma berpikir saja, harus ada tindakan nyata dari diri kita. Harus ada komitmen untuk merubah itu. Yang namanya komitmen, ga bole setengah hati melaksanakannya. Kalau kita berkomitmen untuk berubah, mulailah. Jangan tunggu orang lain memulai dan jangan malu untuk memulai. Mulailah dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang sering kita lakukan tiap hari tanpa sadar. 

Misalnya, ngga usah pake kertas dan tisu terlalu banyak untuk mencegah pohon-pohon di negara kita ini makin rusak. Kalo butuh kertas, pakai saja dengan hemat. Jangan sekali salah tulis, buang. Salah lagi, buang lagi. Kalo yang lagi pilek dan butuh tisu untuk menampung cairan hidung yang menetes keluar, bisa menggunakan sapu tangan. Kalo pake tisu, sekali kena cairan hidung, langsung buang. Sedangkan sapu tangan, bisa dicuci dan dipakai lagi. Lebih hemat kan? Perlu diketahui, penghematan kertas dan tisu yang kita lakukan bisa mengurangi penebangan pohon-pohon di hutan. Sekedar info saja, sepertiga dari sampah orang Amerika adalah kertas. Bayangkan berapa banyak pohon yang ditebang yang akhirnya hanya menjadi sampah? Dalam setiap menit, lebih dari 200.000 meter persegi hutan dirusak. Hitungannya menit. Kalikanlah: 200.000 x 24 jam x 60 menit.
Hasilnya : 288.000.000. Hutan yang dirusak dalam sehari sebanyak 288.000.000 meter persegi. Dalam setahun berapa meter persegi hutan yang rusak? Karena saya yakin Anda punya kalkulator di rumah, jadi silahkan hitung sendiri.

Lalu, kita yang sebagai generasi muda penerus bangsa ini, harus belajar mencintai budaya Indonesia. Kenapa budaya asli kita semakin tergusur dengan adanya budaya asing yang masuk ke Indonesia? Itu karena kita sebagai generasi muda menganggap budaya asli kita sebagai budaya katrok, jadul. Padahal, ya inilah budaya kita. Seharusnya kita bisa menyayangi yang menjadi milik kita yang sangat berharga. Menurutku, kita harus mulai mencintai budaya kita, pertama dengan mengenal, lalu mempelajarinya. Kalo sudah belajar budaya kita sendiri, perkenalkanlah budaya itu kepada orang lain. Dengan itu, budaya kita tetap lestari dan makin dikagumi dan dikenal banyak orang. Yang mulanya ga tahu menjadi tahu, dan ikut berusaha mencintai budaya itu.


Jadi, intinya, kita harus selalu bangga dan berusaha terus tetap bangga atas negeri ini. Bukannya ngga bangga dan tidak melakukan apapun untuk merubahnya. Kalo kita bilang bangga, tunjukkan 'kebanggaan' mu itu. Bagi yang ngga bangga, berusahalah untuk bangga. Jangan ngga bangga, eh ngga melakukan apa-apa.


Bangga atau ngga bangga dengan Indonesia ini?
Bisa pilih kok !
Kalian pilih yang mana sekarang??

 

21 Mei 2010

Indonesia, kaya apa miskin?







Saya mencoba bertanya pada sebagian teman-teman saya yang mempunyai rasa nasionalisme yang lumayan tinggi.


Kalian pikir negara Indonesia itu negara yang seperti apa?


Dan beginilah jawaban mereka.

- Negara yang punya potensi tapi kurang bisa memanfaatkan potensinya
- Negara yang kaya SDA dan budaya tapi minim SDM


Sebagian besar dari teman-teman yang saya wawancarai (ceeilee, gayanya..), berpendapat demikian. Kalo menurut saya, ya benar apa yang dikatakan oleh mereka. Semua pandangan saya (yang berkaitan dengan kekayaan Indonesia) tentang negeri kita tercinta ini, sudah diambil semua oleh mereka. 

Indonesia itu sebenarnya patut diperhitungkan di kancah internasional, berkaitan dengan keindahan dan kekayaan alam yang dimilikinya. Kalau dibandingkan dengan negara lain, negara kita mempunyai kekayaan alam lebih banyak. Mungkin hal itu disebabkan karena besarnya wilayah negara kita. apalagi kita mempunyai wilayah kelautan yang sangat besar. Kayaknya tidak ada satupun negara yang mempunyai laut yang begitu luas dalam negara mereka. Selain punya laut, kita juga punya hasil tambang yang melimpah ruah. Mulai dari minyak bumi, permata, emas, batu bara, dan lain-lain. Hasil tambang kita memiliki nilai jual yang tinggi di dunia perdagangan internasional karena barang seperti minyak bumi sangat dibutuhkan oleh masyarakat seluruh dunia. Begitu pula dengan emas, batu bara, dan lain-lain.

Sayangnya, negara kita belum bisa mengelola hasil-hasil tambang tersebut dengan baik. Kalau mengenai hasil laut, kita sudah bisa mengelolanya. Para nelayan tinggal menebarkan jala di tengah lautan Indonesia, dan mereka langsung akan mendapatkan berbagai macam ikan, mulai dari ikan teri sampai ikan paus. Setelah itu mereka tinggal menjualnya ke tangan para pedagang di pasar. Untuk pengelolaan ikan, sudah ada pabrik ikan kalengan milik Indonesia. Kalau tidak, ibu atau nenek kita di rumah pun bisa mengolah ikan itu, dimasak dan dijadikan berbagai macam menu ikan; ikan bakar, ikan goreng, ikan rebus, pepes, ikan goreng tepung, ikan rica-rica (ada apa ngga ya??), dll. Untuk hasil laut lainnya seperti kepiting, udang, lobster, rumput laut pun kita masih bisa mengelolanya sendiri. Bahkan bisa diekspor ke luar negeri.

Tapi lain halnya dengan komoditas Indonesia yang berupa hasil tambang. Kelihatannya kita masih belum bisa mengelolanya sendiri. Seperti misalnya minyak bumi. Apakah kita bisa mengelolanya sama seperti kita mengelola ikan? Tentu tidak. Untuk mengelolanya dibutuhkan alat-alat khusus yang mungkin hanya bisa didapatkan di luar negeri. Sebenarnya kalau mau, kita bisa membuat alat-alat itu sendiri. Tetapi masalahnya adalah kurangnya SDM yang berkualitas. Karena kurangnya SDM yang berkualitas pula, kita menyerahkan masalah 'pengelolaan hasil tambang' itu ke pihak lain. Pihak lain disini yang saya maksud adalah perusahaan asing. Perusahan asing melihat kesempatan yang sangat bagus bagi mereka jika mereka meng-handle semua urusan tambang menambang. Kita tahu sendiri hasil tambang membuat suatu negara bisa kaya materi.

Coba kita analogikan. Misalnya, saya mempunyai seorang teman yang kaya. Suatu hari, teman saya ini ingin pergi ke luar negeri dan saya dititipi rumahnya, mobilnya, uangnya, pabriknya dan semua miliknya. Secara manusiawi, tentu ada keinginan untuk mencoba memakai mobilnya, belanja dengan  kartu kreditnya, tinggal di rumahnya, dan mengurus pabriknya. Meskipun di awalnya sudah ada perjanjian, bahwa saya tidak akan menggunakan barang-barang miliknya, ya tetep aja. Namanya juga manusia, pasti ingin mencoba melanggar. Apalagi kalo kita lagi kepepet. Mobil saya lagi di bengkel, sedangkan saya butuh mobil untuk ke luar kota. Kira-kira akan saya pake ngga mobil teman saya itu? Kan orangnya lagi di luar negeri. Ga ada yang liat juga kan?

Sama halnya dengan perusahaan asing yang mengelola semua hasil tambang kita. Ibaratnya hasil tambang itu adalah seluruh kekayaan teman saya. Negara kita ibarat teman saya yang menitipkan kekayaannya, sedangkan perusahaan asing itu ibarat saya yang dititipi kekayaan. Akan sangat memungkinkan terjadi monopoli kepemilikan hasil tambang. Seharusnya, kalau hasil tambang itu milik kita, ya kitalah yang mendapatkan keuntungan dari hasil penjualannya. Tetapi kenyataannya lain, hasil tambang itu dikelola oleh orang lain dan kita tidak mendapatkan keuntungan yang seharusnya kita dapatkan. Malahan pihak pengelola yang mendapatkan keuntungan itu. Nggak fair kan?

Akibatnya, karena kita tidak mendapatkan hak kita, ya begini ini. Pemerintah mengeluarkan anggaran yang besar untuk pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Tapi keuntungan tidak kita dapatkan. Jadinya, uang itu mengalir ke tangan pihak lain, bukannya kembali ke tangan kita. Misalnya kita mendapat hasil dari penjualan hasil tambang kita, tentu kita bisa membenahi negeri ini. Keuntungan itu bisa disalurkan untuk menyejahterakan orang miskin, memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak yang kurang mampu, mengatasi gizi buruk, pemerataan ekonomi di tiap daerah, dan masih banyak lagi.

Sebenarnya kita bisa kok mengelola hasil tambang kita sendiri. Kita hanya perlu meningkatkan kualitas SDM Indonesia dan terus belajar dan belajar dari negara maju. Kita perlu menghargai setiap anak bangsa yang berprestasi karena mereka merupakan salah satu aset negara yang berharga. Banyak anak-anak bangsa yang berprestasi malah justru melarikan diri ke luar negeri. Katanya, di luar negeri, mereka lebih dihargai. Gaji lebih tinggi, pekerjaan terjamin, dan waktu mereka efektif untuk bekerja. Kalau di Indonesia, gaji sedikit, belum tentu juga bisa terus kerja. Lha, kalau di PHK, gimana? Lalu, di Indonesia, waktu banyak dibuang sia-sia. Dipakai untuk berdebat, ide siapakah yang paling baik, dan tidak segera direalisasikan. 

Belajar dari negara maju. Benarkah kita sudah belajar dari negara maju? Sudah? Ah, masa? Belajar itu bukan menyontoh atau menjiplak. Belajar itu bertahap. Untuk menjadi sebuah negara maju, lakukan secara bertahap. Apa? Kelamaan? Ya memang lama. Mana ada orang belajar cepet? Belajar itu perlu waktu. Pelajari satu hal, lalu dua hal, dan seterusnya. Sama. Kalo mau jadi negara maju yang bisa mengelola semua miliknya sendiri, pelajari satu hal dulu, satu hal lagi, dst. Dan satu hal lagi, jangan cuma meniru. Harus bisa membuat sendiri, meskipun dasarnya ya awalnya niru. Kembangkan lagi, buatlah menjadi berbeda. 

China, bisa buat sepeda motor sendiri sekarang. Awalnya memang mereka ga tahu, barang-barang apa yang dibutuhkan, bagaimana merangkainya. Tapi, mereka membeli sebuah sepeda motor dari Jepang, membongkarnya, dan mereka mencoba menirunya. Meskipun kualitasnya berbeda, tapi mereka bisa membuatnya sendiri sekarang, dan tentunya masih harus dikembangkan lagi. 

Kalau negara lain bisa, kenapa kita ngga? 

Indonesia, kaya apa miskin?
Udah bisa jawab sendiri kan?

08 Mei 2010

First, it may be a simple thing..

Tapi kemudian kebanyakan orang membuatnya menjadi hal yang rumit dan menjadi tidak mungkin untuk dilakukan.

Banyak orang berkata, "Kau tidak bisa" atau "Aku tidak bisa", tapi sebenarnya kita bisa dan hal itu cukup mudah untuk dikerjakan.

Semakin banyak orang yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin, otak kita langsung meresponnya dengan cepat dan secara tidak sadar menanamkan pada diri kita bahwa hal itu impossible

Contoh misalnya, kita lapar.
Kita punya uang.

Jika ingin kenyang, kita harus makan.
Entah makan apapun, pokoknya kenyang.

Tapi kebanyakan dari kita mempersulit hal itu.

Kita lapar, dan kita punya uang.
KIta mau makan tapi mau makan pangsit mie.
Padahal untuk kenyang, tidak perlu pangsit mie.
Nasi goreng juga bisa.

Ini meruppakan salah satu contoh sederhana bagaimana orang mempersulit dirinya sendiri.

Tanpa kita sadari, kita juga sering melakukan hal ini.
Hal gampang dibuat susah.
Kenapa ngga ada hal susah yang dibuat mudah??

15 April 2010

Minta pendapat...

1. Apa yang kamu pikirkan ketika pertama kali mendengar kata sahabat?
2. Apa arti sahabat bagimu?
3. Enaknya punya sahabat itu apa??

Terimakasih atas segala jawaban yang akan atau sudah diberikan.. Minta tolong dijawab.. Buat tugas ni..
Tengkiuwh.. ^^,

14 April 2010

Memori Macto


Tinggi di atas puncak anak tangga Great Pyramid Astex, seorang laki-laki tua berdiri meneriakkan ,“ Iluminati!.” Tak lama kemudian, sebuah tombak menembus dada kirinya. Para pejuang suku Nasca yang melihat kepala sukunya sekarat, sontak berlari menuju  Toruc Macto yang telah terbaring lemah. Suku Kayapo telah mendekati suatu kemenangan.
30 abad telah berlalu, ketika seorang arkeolog muda dari Amerika berumur 31 tahun , Jake Horner menginjakkan kaki di sebuah hutan rimba. Matahari masih berada di sebelah timur. Dia harus berjalan sejauh 5 km untuk mencapai Great Pyramid Astex, suatu peninggalan suku Nasca yang berada di Semenanjung Yucatan. Great Pyramid Astex adalah julukan bagi piramida terbesar dari ribuan piramida peninggalan suku Nasca. Di depan Great Pyramid Astex terukir sebuah larangan untuk masuk ke dalam Great Pyramid Astex.
“Jika anda tidak mau tersesat, janganlah memasuki labirin ini!”
Tetapi keingintahuannya yang besar mengalahkan rasa takutnya jika tersesat. Dia menyalakan obor yang telah dia siapkan  dan menyalakannya dengan menggunakan pemantik rokoknya. Dia mulai masuk menuju lorong yang merupakan satu-satunya pintu masuk menuju ke dalam Great Pyramid Astex.
Lorong yang gelap itu memang jarang dikunjungi oleh orang, karena banyak orang yang takut tersesat di dalam Great Pyramid Astex. Di tengah perjalanannya, Jake menemukan suatu relief yang menghiasi dinding lorong. Setelah dia mengamati relief yang masih terukir dengan jelas itu dengan seksama, dia menemukan huruf-huruf kuno yang letaknya tersembunyi di salah satu cekungan relief.
“Seberangi kematian membuka elemen kehidupan. Dari pintu bertabur bintang, tersimpan Memori Macto,” Jake menterjemahkan tulisan kuno itu dengan terbata-bata.
Jake menulis kata-kata itu dalam buku catatannya. Kemudian dia menemukan sebuah relief yang menyerupai dewa. Dia mengamati dengan seksama relief yang tingginya sekitar 2 meter itu. Relief itu memiliki sayap seperti malaikat. Setelah beberapa menit, dia menyadari bahwa ada huruf yang tersembunyi.
“Bumi?” ungkap Jake dengan kurang yakin.
Kemudian dia membuka kembali buku catatannya untuk melihat istilah yang tadi dia temukan. Dia membaca berulang-ulang, kemudian dia berhenti pada salah satu kata.
“Elemen kehidupan? Bumi adalah salah satu elemen kehidupan. Berarti di patung ini ada petunjuk yang akan membawaku ke elemen kehidupan yang lain. Ada empat elemen kehidupan, yaitu bumi, udara, api, dan air,” pikir Jake.
Jake semakin bersemangat untuk memecahkan teka-teki tersebut. Dia melanjutkan perjalanannya. Beberapa saat kemudian, dia sampai di percabangan lorong tempat dia masuk. Lorong itu terbagi menjadi tiga lorong, satu ke kiri, satu ke kanan, dan yang lainnya lurus ke depan. Dia melihat di lorong sebelah kiri terdapat anak tangga turun, di lorong sebelah kanan terdapat anak tangga naik, sedangkan di lorong lurus ke depan hanya datar.
“Apakah ini ada hubungannya dengan elemen kehidupan? Oh, elemen kehidupan setelah bumi adalah udara, mungkinkah itu mengatakan bahwa aku harus masuk lorong sebelah kanan? Mungkin saja di atas ada sebuah lubang untuk masuknya udara,” pikirnya.
Jake menaiki anak tangga yang membawa dirinya ke atas, anak tangga itu berakhir pada percabangan lorong seperti tadi. Namun dia menyadari bahwa ada seberkas cahaya yang terlihat dari ujung lorong yang lurus ke depan.
“Ternyata pikiranku tidak salah, di sana benar-benar ada sebuah lubang,” ucapnya pada dirinya sendiri.
Seketika itu juga Jake mendengar suara orang dari kejauhan. Lama-lama dia menyadari suara itu berasal dari orang yang minta tolong dari  lorong sebelah kiri. Dia segera turun sambil berlari menuju suara itu berasal. Di ujung bawah lorong ternyata dia menemukan sebuah keluarga yang tersesat.
“Hai, bagaimana keadaan kalian?” tanya Jake sambil terengah-engah.
“Kami baik-baik saja, terima kasih sudah mau datang menolong kami,” jawab James Bernard.
“Kalian mengapa ada di sini?” tanya Jake dengan heran.
“Obor kami mati, lalu kami semua tersesat di sini selama berjam-jam,” jawab Sherly Bernard.
“ O begitu, perkenalkan nama saya Jake Horner dari Amerika Serikat, kalian berasal dari mana?” ucap Jake.
“O maaf, kami lupa memperkenalkan diri kami, kami berempat berasal dari Inggris, saya adalah Catherine Bernard, ini adalah suami saya James Bernard, ini adalah anak sulung kami Wiliam Bernard, dan ini adalah Sherly Bernard anak bungsu kami,” kata Catherine dengan jelas.
“Apakah kalian kelaparan? Saya punya beberapa makanan,” Jake menawarkan makanan yang dibawanya.
“O terima kasih, kami juga masih mempunyai persediaan makanan, anda di sini sedang apa?” tanya Wiliam.
“Saya sedang berusaha untuk memecahkan suatu teka-teki yang saya temukan di lorong dekat pintu masuk, saya adalah seorang arkeolog”, jawab Jake.
“Kebetulan saya juga adalah arkeolog, apakah teka-teki yang anda temukan adalah ‘ Seberangi kematian membuka elemen kehidupan. Dari pintu bertabur bintang, tersimpan Memori Macto’ ?” tanya James pada Jake.
“O tepat sekali, ternyata kita berdua adalah arkeolog, jadi kalian tersesat saat berusaha memecahkan
teka-teki itu?” Jake bertanya dengan penuh semangat.
“Begitulah,” jawab James.
“Kalau begitu kita bisa memecahkan teka-teki itu bersama-sama,” ajak Jake.
“Ide yang bagus arkeolog muda, anda sudah menemukan sampai sejauh mana?” tanya James.
“Saya sudah tahu sampai elemen kehidupan kedua, tepatnya udara, saya melihat seberkas cahaya di lorong atas sesaat sebelum saya turun ke sini untuk menemukan kalian,” jawab Jake dengan yakin.
“Kalau begitu mari kita melanjutkan perburuan kita,” ajak James kepada Jake dan seluruh anggota keluarganya.
Mereka menaiki anak tangga hanya dengan diterangi oleh sebuah obor. Setelah sampai kembali di tempat Jake melihat seberkas cahaya di lorong yang lurus, Jake menunjukkan asal seberkas cahaya tersebut kepada James.
“Di sana ada seberkas cahaya, berarti di sana ada lubang tempat masuknya udara. Jika kita menghubungkannya dengan teka-teki itu, bisa diartikan sebagai elemen kehidupan kedua yaitu udara,” kata Jake.
“Anda benar, mari kita ke sana ,” James mendukung perkataan Jake.
Setelah berjalan kurang lebih 50 meter, mereka menemukan sesuatu yang mereka cari. Namun mereka terheran-heran dengan apa yang mereka lihat. Sekarang mereka berada di dalam ruangan berbentuk balok berukuran panjang 25 meter, lebar 10 meter dan tinggi 10 meter. Di sana lorong terbagi menjadi sepuluh lorong yang terletak di seberang sisi lorong tempat mereka masuk ke ruangan itu.
“Wow, kita berada di ruangan yang sungguh menantang. Sekarang kita dihadapkan pada pilihan untuk memasuki salah satu dari sepuluh lorong yang ada,” kata Wiliam.
“Ternyata letak lubang tempat masuk cahaya yang kita lihat tadi berada di atas tepat di tengah ruangan ini,” kata Sherly pada ayahnya.
“Pasti ini pun ada maksudnya,” jawab James.
“Apakah ini ada hubungannya dengan elemen kehidupan yang ketiga? Saat kita berada di dalam piramida ini, api hanya dapat berasal dari obor ini,” pikir Jake.
“Oh ada lagi selain obor, matahari juga menghasilkan api,” kata James.
“Oh iya, matahari hanya dapat dilihat dari lubang itu,” kata Sherly sambil menunjuk ke atas tempat lubang itu berada.
“Berarti seharusnya cahaya matahari dari lubang itu akan menunjukkan lorong yang benar,” kata Catherine.
“Namun arah matahari selalu berubah, sekarang pun cahaya matahari dari lubang itu jatuh di ubin tempat kita berdiri,” kata Wiliam.
“Justru karena selalu berubah, pasti ada saatnya cahaya matahari dari lubang itu akan tepat jatuh di salah satu dari sepuluh lorong yang ada. Apakah begitu James?” Jake mulai menemukan jalan.
“Benar Jake, anda benar-benar cerdas.  Jadi sekarang kita tunggu saja sambil makan,” kata James.
“Ayo!” jawab Jake, Catherine, Wiliam, dan Sherly serentak.
Selama mereka makan, cahaya matahari dari lubang itu pun bergeser sesuai arah matahari, dan jatuh tepat di salah satu lorong yang ada.
“Coba lihat! Cahaya matahari dari lubang itu tepat jatuh di lorong ke tiga dari kiri,” kata Catherine.
“Berarti itulah jalan selanjutnya yang harus kita lewati,” James menarik kesimpulan.
Setelah mereka selesai makan, mereka pun melanjutkan perjalanan mereka. Mereka masuk ke lorong ke tiga dari kiri. Awalnya lorong itu datar, kemudian ada anak tangga yang membawa mereka turun. Sampai akhirnya mereka kembali menemukan percabangan lorong. Lorong itu bercabang menjadi dua, satu akan membawa mereka naik, dan yang lainnya akan membawa mereka turun.
“Lorong manakah yang berhubungan dengan elemen kehidupan keempat yaitu air?” tanya Jake pada James.
“Air diperoleh bisa dari sumber air di pegunungan bisa juga dari air bawah tanah,” kata James.
“O iya, air dari pegunungan maupun dari bawah tanah akan tetap mengalir ke laut, bisa diartikan jalan kita berikutnya adalah lorong yang turun ini,” kata Sherly dengan yakin.
“Bagus Sherly, lorong yang turun ini mengibaratkan sebuah sungai yang membawa air menuju laut. Ayo kita jalan!” kata Jake.
Lorong itu awalnya turun, kemudian datar. Setelah kurang lebih berjalan 100 meter, lorong itu membawa mereka naik.
 “Coba dengar! Seperti ada suara gemuruh air terjun,” kata Sherly.
Setelah mereka keluar dari lorong yang gelap. Mereka melihat suatu pemandangan yang indah melebihi pemandangan terindah yang pernah mereka lihat. Sekarang mereka berada di hamparan rumput yang luas. Langitnya dihiasi oleh bintang-bintang yang bersinar. Di sekeliling mereka menjulang tebing setinggi 10 meter. Terdapat air terjun yang indah di depan mereka. Air dari air terjun itu jatuh ke sungai yang mengalir deras menembus lubang di bawah tebing di sebelah kiri mereka. Ternyata mereka telah dibawa sangat jauh oleh labirin tadi ke sebuah tempat yang tampaknya belum pernah terjamah oleh manusia modern.
“Di sana ada sesuatu yang aneh,” kata Jake.
Jake melihat sebuah bongkahan batu yang berbentuk balok dengan ukuran 30 x 30 cm dengan tinggi 1 meter. Mereka semua menuju bongkahan batu itu.
“Lihat! Ada batu berwarna biru langit di atasnya,” kata Sherly.
Jake mengambil batu itu dan melihatnya dengan seksama, sedangkan James mencoba mencari informasi di bongkahan batu tempat batu berwarna biru kehitaman itu berada.
“Jake, coba lihat ini!” kata James saat menemukan sesuatu di bongkahan batu itu.
“Ada tulisan kuno di sini,” James menunjukkan tulisan kuno itu pada Jake.
“Dari pintu bertabur bintang, tersimpan Memori Macto,”  Jake menterjemahkan tulisan kuno itu.
“Ini tulisan yang sudah pernah kita lihat di lorong depan,” kata James.
“Ternyata batu ini yang dimaksud dengan Memori Macto.”
“Coba lihat ini, ada banyak tengkorak  di dasar sungai,” kata Sherly.
Jake datang ke tepi sungai untuk membuktikan kata-kata Sherly. Karena dia terlalu bersemangat, kakinya tersandung oleh batu sungai. Tanpa disadarinya batu yang tadi dipegangnya, terlepas dan jatuh ke sungai menimpa salah satu dari tulang tengkorak itu.
“Aduh!” erang Jake.
“Kenapa?” tanya Sherly
“Aku tersandung.
“Kamu tidak apa-apa? Mari kutolong. Oh ya, batunya mana?”
“Hah? Sepertinya batu itu terjatuh ke dasar sungai,” ujar Jake panik.
Tiba-tiba, terdengar suara riak air seperti ada sesuatu yang bergerak dari dasar sungai. Jake segera berlari untuk melihat apa yang terjadi. Seakan tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat, batu tersebut bercahaya. Kemudian, muncul puluhan sosok manusia tinggi besar yang matanya memancarkan kebencian dan rasa dendam yang membara. Ternyata tengkorak-tengkorak di dasar sungai itu bangkit menjadi manusia.
            “Hai kalian, hari ini akan kubalas semua kebusukan kalian! Hahahaha!” seringai sosok tersebut.
            “Wahai para pengikut setiaku, Telah tiba waktu kita untuk membalas dendam. Habisi mereka semua, jangan biarkan seorangpun lolos!” perintah salah satu sosok yang tampaknya adalah pemimpin mereka.
            “Lari, selamatkan diri kalian!” seru James.
Tak menunggu waktu lama, mereka pun segera berpencar mencari tempat untuk berlindung.
“Ayo ikut aku, Sherly! Mari kita kembali menuju pintu labirin!” ajak Jake pada Sherly.
Namun, mereka berdua telah dikepung dan terpojok. Di belakang mereka menjulang tebing, sedangkan di kiri mereka terdapat sungai. Tanpa berpikir panjang, Jake segera mendorong Sherly ke dalam sungai dan dia pun ikut menceburkan diri.
“Jangan takut, Sherly! Percayalah padaku, ini adalah satu-satunya jalan keluar yang kita miliki. Pegang tanganku, Sherly! Jangan sampai kita terpisah!” pinta Jake.
“Okelah kalau begitu! Tapi bagaimana dengan keluargaku? Mereka masih terkepung di sana. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja, jawabnya.
”Mereka pasti bisa menyelamatkan diri dari orang-orang itu. Tak ada waktu lagi, Sherly. Cepatlah!”
Sementara itu, anggota keluarga Bernard yang lain rupanya telah menemui ajal mereka, mereka terlambat untuk menyelamatkan diri dari kepungan suku Nasca.
”Apakah ini akan menjadi akhir perjalanan kita, James?” tanya Catherine.
”Tidak. Kita ke sini bukan untuk mati. Kita harus bisa mengalahkan mereka,” kata James.
”Hey, mungkin kita bisa kembali masuk ke dalam labirin. Mereka tidak akan bisa mengikuti kita jika kita bergerak cepat!” kata Catherine.
”Tidak usah banyak bicara! Mereka berada di hadapan kita saat ini. Kalian ingin kita yang dibunuh dulu oleh mereka atau kita yang membunuh mereka? Cepat lakukan sesuatu!” bentak William.
”Ya, betul katamu itu, Catherine. Ayo segera lari menuju labirin tadi,” sahut James.
”Hahaha! Sebentar lagi dendam ini akan terbalaskan!” kata kepala suku Nasca yang diikuti oleh teriakan prajurit-prajuritnya.
Namun, ketika mereka berlari menuju ke dalam labirin, dari dalam labirin terdengar suara gemuruh yang keras. Batu-batu yang menyusun labirin itu mulai bergetar dan beberapa mulai berjatuhan. James, Catherine, dan William yang berada dalam labirin kebingungan jalan mana yang akan mereka pilih. Meneruskan perjalanan mereka di dalam labirin itu ataukah berbalik arah keluar dari labirin.
”Ayah, kita harus bagaimana sekarang? Tak ada jalan lain bagi kita untuk keluar kecuali kita menyerah pada mereka,” kata William panik.
”Tidak ada pilihan bagi kita sekarang selain mati. Kini, kita hanya tinggal memilih, ingin mati di tangan mereka atau mati di dalam labirin ini,” sahut Catherine kehilangan harapan.
”Tidak. Pasti ada jalan keluar lain,” ujar James.
”Sudah jelas tidak ada jalan lain lagi, James. Lebih baik kita kembali keluar dari labirin dan melawan mereka. Setidaknya, kita masih ada harapan untuk mengalahkan mereka,” Catherine berkata.
”Cepat kita keluar dari labirin ini, jika tidak ingin mati konyol di sini!” teriak William sambil berlari keluar labirin.
Suara gemuruh itu makin lama makin keras dan batu-batu mulai runtuh di sekitar mereka. Agaknya yang menyebabkan labirin itu runtuh adalah sebuah batu berwarna biru langit yang telah diambil oleh Jake tadi.
Keluarga Bernard berusaha untuk mempertahankan diri dari ancaman suku Nasca. Perlawanan tak berlangsung lama karena jumlah mereka tidak seimbang. Tak dapat dihindari, keluarga Bernard kalah telak di bawah pasukan suku Nasca. Terlihat banyak darah berceceran dari tubuh mereka. Tampaknya, memang hidup mereka harus berakhir di sini.
Dengan kekuatan yang dimiliki oleh suku tersebut, mereka memperbaiki labirin itu kembali utuh seperti sediakala. Tidak terlihat adanya sisa runtuhan-runtuhan labirin itu. Takkan ada yang menyangka bahwa labirin itu pernah hancur.
Sementara itu, Jake dan Sherly hanyut terbawa oleh arus sungai yang deras. Mereka menggapai-gapai mencari batu untuk tempat berpegangan. Akhirnya, mereka sampai di sungai yang berarus lambat.
“ Sepertinya kita sudah berhasil menghindar dari maut. Benarkah, Jake?” tanya Sherly.
“Aku merasa mereka akan menyusul kita dan sebentar lagi akan mencapai tempat ini. Lebih baik, kita mencari tempat untuk berlindung dari mereka,” sergah Jake.
”Jake, lihat disebelah sana ada sebuah gua,” kata Sherly.
”Baiklah, kita segera kesana. Cepat!”
Mereka segera berenang menuju ke gua itu.
”Ayo, ulurkan tanganmu! Aku akan membantumu naik,” ujar Jake kelelahan.
”Ya. Bagaimana sekarang keadaan ayah, ibu, dan William? Oh Tuhanku, apa yang harus kita lakukan?” tanya Sherly putus asa.
“Tenang, Sherly. Semuanya akan baik-baik saja. Jangan pikir apa-apa dulu. Sebaiknya kita menunggu disini sampai keadaannya memungkinkan kita untuk menyelamatkan mereka disana,” ujar Jake simpati.
“Bagaimana aku bisa tenang sementara keluargaku disana berjuang melawan mereka?”
“Sudahlah, yakinlah bahwa mereka akan baik-baik saja! Mereka pasti bisa mengalahkan prajurit itu.”
”Apa yang akan kita lakukan disini? Tak ada apapun disini. Kita mau menunggu sampai kapan, Jake?”
”Setidaknya kira-kira sampai kita tahu, bahwa mereka tidak mengejar kita lagi. Beristirahatlah! Kau pasti lelah dengan kejadian tadi. Aku akan pergi sebentar untuk membasuh mukaku.”
Ketika Jake pergi ke tepi sungai untuk membasuh mukanya, secara tidak sengaja dia melihat batu berwarna biru langit di dasar sungai yang bening itu. Tanpa ragu dia mengambilnya dan bergegas kembali ingin memberi tahu Sherly tentang apa yang ditemukannya.
”Sherly, lihat apa yang kutemukan!” kata Jake dengan gembira.
”Jake, itu hanyalah sebuah batu. Ayolah, aku sudah cukup lelah dengan kejadian hari ini.”
”Tidak, Sherly. Ini bukan batu biasa. Ini batu yang kita ambil tadi. Kau ingat? Batu yang disebut Memori Macto.”
“Jake, apalah arti batu itu? Batu tetaplah batu.”
“Sherly, kau tidak sadar dengan kejadian tadi. Coba ingat! Apa yang terjadi ketika batu ini jatuh diatas tengkorak-tengkorak di dasar sungai?
Secara ajaib tengkorak-tengkorak itu berubah menjadi sekelompok prajurit itu.”
 “Itu berarti batu ini mempunyai kekuatan untuk membangkitkan manusia. Kau mengerti maksudku bukan?”
“Jadi, batu ini bisa digunakan untuk membangkitkan manusia?” tanya Sherly untuk memastikan kata-kata Jake.
“Tepat.”
“Jadi apa yang akan kau lakukan terhadap batu ini?” tanya Sherly basa-basi.
“Niat yang pertama kali muncul di benakku adalah untuk mengoleksi batu ini. Aku adalah seorang kolektor benda-benda langka. Jika aku menemukan benda-benda seperti ini, aku akan segera  menyimpannya dan tidak akan membiarkan seorang pun menyentuhnya,” sahut Jake.
“Tolong kau ceritakan kepadaku apa pun yang belum kuketahui tentangmu, Jake” pinta Sherly.
“Yah, seperti yang sudah kukatakan tadi. Aku adalah seorang arkeolog yang kebetulan menyukai benda-benda langka. Aku mulai tertarik dengan arkeologi sejak aku duduk di bangku SMA. Sejak itu, aku mulai berpergian ke tempat-tempat bersejarah dan terkadang pergi ke sebuah tempat yang masih belum terjamah oleh tangan manusia.”
“Lalu, bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini?”
”Aku mengetahui tempat ini dari sebuah buku yang kutemukan di sebuah perpustakaan tua. Dari buku itu aku mendapatkan semua informasi tentang suku Nasca dan Great Pyramid Astex. Dikatakan bahwa ada sebuah peninggalan dari suku Nasca. Tapi tidak disebutkan benda apa itu. Karena penasaran, aku mengunjungi tempat ini dan ingin mencari benda peninggalan itu.”
”Berarti kau tidak tahu tentang batu ini sama sekali? Apa kau juga tidak tahu tentang labirin itu?”
“Ya, aku tidak tahu apapun tentang batu itu. Tetapi aku tahu tentang labirin itu. Dikatakan dalam buku itu bahwa labirin itu sudah memakan banyak korban. Tetapi anehnya, ketika aku masuk ke labirin itu, aku tidak mengalami kejadian-kejadian aneh dan aku tidak sampai tersesat di dalamnya. Apakah mungkin ini pertanda, bahwa akulah orang yang ditakdirkan untuk memiliki harta peninggalan suku Nasca ini?”
“Oh, mungkin saja. Saat keluargaku masuk ke dalamnya ternyata kami tersesat. Saat itu, aku dan keluargaku sedang berjalan. Tiba-tiba saja ada angin yang berhembus ke arah kami, yang menyebabkan semua obor kami mati. Padahal, dalam labirin tempat kau menemukan kami tadi, tidak ada celah sedikitpun bagi angin untuk masuk. Aneh, bukan?”
“Ya. Untungnya aku bertemu dengan kalian tadi. Jika tidak, mungkin saja kau masih tersesat di dalamnya.”
“Ya, dan aku tidak akan mengalami kejadian mengerikan ini.”
“Menurutmu, ini semua salahku?” tanya Jake.
“Oh bukan Jake, sama sekali bukan. Maafkan aku telah menyinggung perasaanmu. Sudahlah Jake, ayo kita pergi dari sini. Kelihatannya, prajurit tadi tidak mengejar kita lagi. Aku ingin kembali untuk melihat keadaan ayah, ibu serta saudaraku.”
“Baik, Sherly. Tetaplah waspada. Mungkin saja mereka masih berada di sekitar sini.”
Jake dan Sherly berjalan keluar dari gua itu dan mencari jalan untuk kembali menemui anggota keluarga Bernard yang lain.
“Jake, apakah kau tahu jalan lain untuk kembali ke tempat tadi?”
“Mungkin saja. Aku juga tidak tahu dengan pasti. Aku punya kompas yang akan menuntun kita kembali ke sana. Coba lihat! Jarumnya menunjuk ke arah tenggara.”
Mereka berjalan dan terus berjalan. Tanpa terasa hari mulai gelap. Mereka belum juga sampai ke labirin itu. Dengan terpaksa mereka menghentikan perjalanan.
“Sherly, kita harus berhenti. Hari mulai gelap dan kita tidak mempunyai alat penerangan apapun. Percuma saja jika kita terus melanjutkan perjalanan di tengah hutan lebat ini. Yang ada malah kita tersesat nantinya. Sekarang kita beristirahat di sini sampai besok pagi.”
”Tidak bisa, Jake. Aku harus memastikan bahwa keluargaku baik-baik saja. Jika kita menunggu sampai besok, kasihan mereka Jake.”
”Baiklah, tetapi tunggu di sini sebentar.  Aku akan mencari sebatang kayu untuk membuat obor.”
“Okelah Jake, aku akan menunggu di sini.”
Jake berkeliling mencari sebatang kayu. Tak lama kemudian dia menemukannya dan segera dia membuat obor. Setibanya di gua, dia pun mengajak Sherly untuk bergegas mencari keluarganya.
Malam itu terasa panjang bagi mereka berdua. Jake dan Sherly mulai melihat puncak dari Great Pyramid Astex dari kejauhan. Perlahan namun pasti mereka berdua tiba di mulut labirin tempat mereka pertama kali memasuki Great Pyramid Astex. Tidak ada satupun prajurit-prajurit aneh tadi terlihat di sana. Hal ini sungguh terasa aneh bagi mereka.
“Ke mana mereka semua Jake?”
“Aku tak tahu, tapi tetaplah berjalan dengan hati-hati!”
Mereka menyusuri jalan menuju ke tempat mereka menemukan Memori Macto tersebut. Satu, dua, bahkan lima lorong telah mereka lalui dengan mudah, hingga akhirnya mereka tiba di hamparan rumput yang luas. Tempat itu sungguh memiliki nuansa yang berbeda dibanding siang tadi. Sekeliling sungguh sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Mereka melihat mayat keluarga Bernard digantung rendah di tebing sebelah kanan mereka. Kaki dan tangan mereka terkulai bersimbah darah.
“Ayah, Ibu, William apa yang terjadi dengan kalian?” teriak Sherly histeris.
“Sudahlah Sherly. Percuma saja usahamu. Mereka sudah tiada. Lebih baik kita coba kekuatan batu ini. Semoga dapat menghidupkan kembali keluargamu,”
“Berikan batu itu padaku Jake. Cepat! Aku akan mencobanya sendiri,”
Namun, tak terjadi apapun. Ketiga anggota keluarga Bernard tetap terbujur kaku. Tanpa mereka sadari dari puncak tebing bermunculan prajurit-prajurit Toruc Macto.
“Selamat malam mangsa-mangsaku sekalian, akhirnya kalian datang juga. Sekarang kalian tidak mungkin lolos lagi. Hahahahahaha.”
“Ayo kita segera lari dari sini Sherly!” ajak Jake.
“Pergilah Jake. Jangan khawatirkan aku lagi. Aku sudah terlalu lelah untuk berlari. Lagipula, aku ingin mati di sini dengan keluargaku.”
“Jangan bodoh. Tidak mungkin aku meninggalkanmu dan membiarkanmu terbunuh begitu saja,”
“Cukup sudah perbincangan kalian. Kalian akan kubawa menghadap Toruc Macto,” ujar prajurit itu.
Sesampainya di hadapan Toruc Macto.
“Apa kalian tahu mengapa batu itu tidak bisa membangkitkan keluargamu?” tanya Toruc Macto dengan angkuh.
“Lepaskan kami!” teriak Jake dan Sherly.
“Karena batu itu hanya bisa digunakan untuk membangkitkan kami, suku Nasca.
“Kau pembohong!! Tidak mungkin batu ini hanya bisa membangkitkan kalian! Cuuiih!” kata Jake kesal.
“Hey, berani-beraninya kau meludahi Toruc Macto! Tapi, kalian masih beruntung anak muda. Kali ini aku masih sabar. Seharusnya aku sudah membunuh kalian, tapi aku punya hukuman lain untuk kalian.” bentak salah satu prajurit.
“Terserah apa katamu, tapi sekarang kami mau diapakan?” tanya Sherly dengan nada ketakutan.
“Kalian akan menjadi korban bakaran untuk dewa-dewa kami. Dewa-dewa pasti akan senang menerimanya. Daripada kalian dibunuh dan tidak membawa manfaat apa-apa bagi kami, lebih baik kalian yang dikorbankan untuk para dewa. Jika dewa senang, mereka akan memberikan kemakmuran bagi tanah kami dan kami bisa hidup lebih baik,” sahut salah seorang prajurit.
“Prajurit-prajuritku, siapkan altar persembahan bagi dewa-dewa. Tidak boleh ada kesalahan sedikitpun atau dewa akan mengutuk tanah kita lagi. Segera ikat mereka di tiang pengorbanan. Jangan sampai mereka lepas,” suruh Toruc Macto.
“Jake, kita akan mati. Aku tak menyangka segalanya akan berakhir disini,” kata Sherly sambil menangis.
“Sherly, sudahlah. Aku tak ingin melihat air matamu menetes lagi. Seandainya saja aku bisa memberikan bahuku untukmu saat ini.”
“Tidak perlu, Jake. Hidupmu akan segera berakhir. Mengapa kau malah memikirkan diriku?
“Aku akan selalu memikirkanmu, Sherly. Selalu.”
“Apa maksudmu, Jake?”
“Ya, aku menyukaimu saat pertama kali kita bertemu dalam labirin itu. Tanpa terasa, aku juga ingin melindungimu dan memberikan rasa aman bagimu. Aku mencintaimu, Sherly.”
“Apakah kalian tidak punya pesan-pesan terakhir sebelum kalian meninggalkan dunia ini, hah? Hahahaha,” ujar Toruc Macto.
“Jake, aku juga mencintaimu. Kalau bukan karena kau aku mungkin sudah mati. Tapi sayang kita harus berakhir dalam keadaan seperti ini.
“Hanya itu pesan terakhirmu, nona? Teman-teman cepat nyalakan api. Toruc Macto sudah tidak sabar mempersembahkan korban ini bagi para dewa.”
Jake tersenyum pada Sherly. Dia sudah tahu bahwa Sherly juga mencintainya. Sambil menggenggam Memori Macto, Jake berdoa agar dirinya dan Sherly bisa bertemu lagi di alam sana. Api mulai menyala, semakin besar, dan membakar mereka berdua. Sekali lagi Jake menatap mata Sherly dan Sherly menatap mata Jake.
Toruc Macto dan para prajuritnya tertawa dan segera menyelenggarakan pesta besar-besaran. Tetapi mereka lupa akan khasiat dari Memori Macto yang hanya bisa menghidupkan mereka selama 13 jam.
Lima tahun kemudian...
“Bu, aku tidak ingin mengunjungi tempat ini. Tempat ini sangat tidak menyenangkan. Apakah tak sebaiknya kita jalan-jalan ke Melbourne, Sidney atau China?”
“Hey, kita sudah sampai dan kau menyesalinya? Kenapa kau ikut kalau begitu?” tanya ayahnya.
“Ya, setelah kita melewati labirin-labirin tadi, kita menemukan tempat ini. Indah bukan? Disana ada air terjun dan sebuah sungai berair jernih. Aku ingin kesana untuk membasuh wajahku,” ujar ibunya.
“Ayah, Ibu! Lihat apa yang kutemukan! Sebuah batu berwarna biru langit yang sangat berkilau.”
“Dimana kau menemukannya?” kata ayahnya.
“Disini, tepat di tengah-tengah bekas bakaran ini,” ujar sang anak.
“Lihat! Aku juga menemukan sesuatu. Kelihatannya di dasar sungai ini ada tulang lengan manusia,” ujar ibu anak itu.
Anak itu berlari dengan cepat dan tiba-tiba terjatuh sehingga batu itu terlepas dari genggaman tangannya.
 “Aduh, sakit!” erang anak itu.
Batu itu melayang dan mendarat tepat di atas tulang lengan manusia yang ditemukan ibunya.
Dan kejadian itu pun terulang kembali...
*************
Made by :  
Asaf, Marco, Katarina, Candra, Elvira, Monica, Hernandi
Maret 2010