09 Mei 2011

Jadi orang jujur itu susah!

Dimana-mana orang mengatakan jadi orang baik itu lebih susah daripada jadi orang jahat. 


Kenyataan memang demikian. Menjadi seseorang yang jahat sangatlah mudah. Marah lebih mudah daripada tersenyum ketika hati sedang pegel sama orang lain. Lebih mudah untuk mencaci maki daripada memuji. Lebih mudah berbohong daripada berkata jujur. Masih banyak lagi contoh kejahatan yang lebih mudah dilakukan daripada kebaikan.


Tak hanya orang dewasa yang dapat merasakan hal ini, anak-anak pun mulai kecil, sudah dapat merasakan hal tersebut. Ketika di rumah, mereka diajari oleh orang tua mereka, harus menjadi anak yang jujur dan mengatakan segala sesuatu dengan benar kepada orang tua. Tapi dalam keadaan terpepet seringkali anak mengabaikan nasihat yang satu itu. Contoh nyata nih. Ketika nilai ulangan pertama mereka jelek, sang anak menunjukkan nilai itu kepada orang tuanya. Tapi kemudian dibalas dengan kemarahan yang meluap-luap dari sang orang tua. Sang anak merasa sakit hati terhadap orang tuanya. Dalam pikiran mereka, "Lah, buat apa jujur, kalo akhirnya dimarahin kayak gini. Tau gitu, ga usah tak tunjukkin to?"


Dari situ, benih-benih ketidakjujuran mulai bertumbuh dan bertunas serta berdaun rimbun hari lepas hari. Ketika mereka melihat ada teman mereka yang menyontek saat ulangan, mereka berpikir ulang. "Bolehkah aku menyontek? Semua orang berkata menyontek itu tidak boleh, tapi kalo nggak nyontek, nilai ulanganku jelek lagi dong? Terus aku dimarahin lagi sama orang tuaku? Huh, nggak. Aku nggak mau dimarahin lagi. Ya, kalo gitu, nyontek aja deh.." Salahkah pemikiran seorang anak yang seperti itu?


Ketidakjujuran terus bertumbuh ketika sang anak mulai menyadari bahwa ketidakjujuran adalah sebuah hal yang menyenangkan. Karena dia tahu menyontek itu menyenangkan, dia akan mengulangi perbuatan itu lagi. Tidak hanya dalam ulangan, dalam hal pengerjaan tugas, dia akan melakukan hal yang sama. Jika hal ini terus terbawa sampai tingkat perguruan tinggi, akan terbentuk sebuah pribadi yang penuh ketidakjujuran.Ketika bekerja, dia dikenal sebagai orang yang tidak jujur, suka berbohong, suka menipu, suka korupsi, hanya untuk kepentingannya sendiri. Jika sudah terlanjur seperti ini, siapakah yang bisa mengubah perilakunya?


Tak jarang pula, iri hati bisa membawa orang baik menjadi jahat. Karena dia melihat orang jahat berlaku tidak jujur dan semena-mena, dia berpikir bagaimana cara membalas orang itu. Contoh kasus dalam negeri kita, para petinggi negara dan wakil rakyat. Kita sebagai warga negara, diharuskan membayar pajak, entah itu pajak penghasilan, pajak  kendaraan bermotor, pajak bangunan, dan pajak-pajak yang lain. Harapan semua masyarakat Indonesia, bahwa pajak itulah yang nantinya dipergunakan sebaik-baiknya untuk keperluan negara dan hasilnya positif bagi pertumbuhan negara itu sendiri.


Indonesia punya kasus aneh dan fenomenal tentang pajak. Banyak para petinggi negara dan wakil rakyat yang katanya ingin membantu memajukan bangsa Indonesia, jalan-jalan kesana kemari, studi banding ke negara ini itu, mengadakan rapat-rapat penting, merencanakan renovasi gedung tempat kerjanya, dan masih banyak lagi. Kira-kira dana yang diperlukan untuk jalan-jalan itu berapa banyak? Menurut sebuah data, negara telah mengeluarkan sebanyak 15 miliar untuk keperluan jalan-jalannya wakil-wakil rakyat. Dan kira-kira negara dapat uang segitu banyak dari mana? Dari RAKYAT yang dengan setia membayar pajak!


Kita coba lihat dari sisi lain. Tidak bisa kita pungkiri, banyak sekali perusahaan-perusahaan atau perseorangan yang memalsukan data keuangan mereka untuk mengelabui petugas pajak. Ini berarti, mereka  membayar pajak, jauh di bawah jumlah yang seharusnya disetorkan pada negara. Kalo kasusnya seperti diatas, pajak dibuat membiayai jalan-jalan wakil rakyat, nggak salah juga dong, mereka-mereka yang dengan sengaja menipu negara. Lha wong nyatanya, uang itu dibuat jalan-jalannya wakil rakyat. Lah, daripada gitu, mending uang pajak itu 'disimpan' sendiri, dibuat jalan-jalan sendiri. Ngapain nglencerin orang lain, ya mending nglencerin diri sendiri to?


Sekali lagi, salahkah kalo kita punya pemikiran seperti itu?


Bagi Anda yang berkata kalo pemikiran saya salah, saya mau tanya. Dengan segala maksud dan tujuan, wakil rakyat mengadakan studi banding kesana kemari, kan katanya buat bangsa kita juga, biar lebih maju gitu. Dan sekarang, apa yang sudah dihasilkan atau bukti nyata apa yang sudah dihasilkan wakil-wakil rakyat itu melalui studi banding demi kemajuan negeri? Apakah hasil itu sebanding dengan banyaknya uang yang dikeluarkan? Dan sekali lagi, pikirkan. Apakah kita sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara menikmati hasil itu?


Semua hanya karena ketidakjujuran. Banyak orang merasa dirugikan atas tindakan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Seandainya, wakil rakyat dan petinggi negara mau jujur, dengan lantang berkata,"Ya, selama ini kami hanya menguntungkan diri kami sendiri dengan korupsi dan mengatasnamakan rakyat dalam setiap kegiatan pelesir kami, dan kami tidak memberikan hasil yang mencolok dari studi banding kami. Dan semua biaya yang kami gunakan adalah uang rakyat yang sebenarnya tidak boleh kami gunakan sembarangan. Mulai saat ini, kami mau bertindak bersih dan mendedikasikan hidup untuk rakyat", akan kuberikan sepuluh jempol untuk kalian, wahai petinggi negara dan wakil-wakil rakyat.


Pertanyaan lagi yang kuajukan,"Beranikah kalian berkata demikian, wahai petinggi negara dan wakil-wakil rakyat?"


Ini sebuah kritik, entah tajam atau tumpul, entah menohok atau tidak. Kuharap mereka sadar dan tertantang untuk jadi orang-orang yang bertanggungjawab, bukan cuma duduk terkantuk-kantuk di kursi kantor dan pelesir kemana-mana, tanpa bisa memberikan hasil nyata yang baik.