15 April 2010

Minta pendapat...

1. Apa yang kamu pikirkan ketika pertama kali mendengar kata sahabat?
2. Apa arti sahabat bagimu?
3. Enaknya punya sahabat itu apa??

Terimakasih atas segala jawaban yang akan atau sudah diberikan.. Minta tolong dijawab.. Buat tugas ni..
Tengkiuwh.. ^^,

14 April 2010

Memori Macto


Tinggi di atas puncak anak tangga Great Pyramid Astex, seorang laki-laki tua berdiri meneriakkan ,“ Iluminati!.” Tak lama kemudian, sebuah tombak menembus dada kirinya. Para pejuang suku Nasca yang melihat kepala sukunya sekarat, sontak berlari menuju  Toruc Macto yang telah terbaring lemah. Suku Kayapo telah mendekati suatu kemenangan.
30 abad telah berlalu, ketika seorang arkeolog muda dari Amerika berumur 31 tahun , Jake Horner menginjakkan kaki di sebuah hutan rimba. Matahari masih berada di sebelah timur. Dia harus berjalan sejauh 5 km untuk mencapai Great Pyramid Astex, suatu peninggalan suku Nasca yang berada di Semenanjung Yucatan. Great Pyramid Astex adalah julukan bagi piramida terbesar dari ribuan piramida peninggalan suku Nasca. Di depan Great Pyramid Astex terukir sebuah larangan untuk masuk ke dalam Great Pyramid Astex.
“Jika anda tidak mau tersesat, janganlah memasuki labirin ini!”
Tetapi keingintahuannya yang besar mengalahkan rasa takutnya jika tersesat. Dia menyalakan obor yang telah dia siapkan  dan menyalakannya dengan menggunakan pemantik rokoknya. Dia mulai masuk menuju lorong yang merupakan satu-satunya pintu masuk menuju ke dalam Great Pyramid Astex.
Lorong yang gelap itu memang jarang dikunjungi oleh orang, karena banyak orang yang takut tersesat di dalam Great Pyramid Astex. Di tengah perjalanannya, Jake menemukan suatu relief yang menghiasi dinding lorong. Setelah dia mengamati relief yang masih terukir dengan jelas itu dengan seksama, dia menemukan huruf-huruf kuno yang letaknya tersembunyi di salah satu cekungan relief.
“Seberangi kematian membuka elemen kehidupan. Dari pintu bertabur bintang, tersimpan Memori Macto,” Jake menterjemahkan tulisan kuno itu dengan terbata-bata.
Jake menulis kata-kata itu dalam buku catatannya. Kemudian dia menemukan sebuah relief yang menyerupai dewa. Dia mengamati dengan seksama relief yang tingginya sekitar 2 meter itu. Relief itu memiliki sayap seperti malaikat. Setelah beberapa menit, dia menyadari bahwa ada huruf yang tersembunyi.
“Bumi?” ungkap Jake dengan kurang yakin.
Kemudian dia membuka kembali buku catatannya untuk melihat istilah yang tadi dia temukan. Dia membaca berulang-ulang, kemudian dia berhenti pada salah satu kata.
“Elemen kehidupan? Bumi adalah salah satu elemen kehidupan. Berarti di patung ini ada petunjuk yang akan membawaku ke elemen kehidupan yang lain. Ada empat elemen kehidupan, yaitu bumi, udara, api, dan air,” pikir Jake.
Jake semakin bersemangat untuk memecahkan teka-teki tersebut. Dia melanjutkan perjalanannya. Beberapa saat kemudian, dia sampai di percabangan lorong tempat dia masuk. Lorong itu terbagi menjadi tiga lorong, satu ke kiri, satu ke kanan, dan yang lainnya lurus ke depan. Dia melihat di lorong sebelah kiri terdapat anak tangga turun, di lorong sebelah kanan terdapat anak tangga naik, sedangkan di lorong lurus ke depan hanya datar.
“Apakah ini ada hubungannya dengan elemen kehidupan? Oh, elemen kehidupan setelah bumi adalah udara, mungkinkah itu mengatakan bahwa aku harus masuk lorong sebelah kanan? Mungkin saja di atas ada sebuah lubang untuk masuknya udara,” pikirnya.
Jake menaiki anak tangga yang membawa dirinya ke atas, anak tangga itu berakhir pada percabangan lorong seperti tadi. Namun dia menyadari bahwa ada seberkas cahaya yang terlihat dari ujung lorong yang lurus ke depan.
“Ternyata pikiranku tidak salah, di sana benar-benar ada sebuah lubang,” ucapnya pada dirinya sendiri.
Seketika itu juga Jake mendengar suara orang dari kejauhan. Lama-lama dia menyadari suara itu berasal dari orang yang minta tolong dari  lorong sebelah kiri. Dia segera turun sambil berlari menuju suara itu berasal. Di ujung bawah lorong ternyata dia menemukan sebuah keluarga yang tersesat.
“Hai, bagaimana keadaan kalian?” tanya Jake sambil terengah-engah.
“Kami baik-baik saja, terima kasih sudah mau datang menolong kami,” jawab James Bernard.
“Kalian mengapa ada di sini?” tanya Jake dengan heran.
“Obor kami mati, lalu kami semua tersesat di sini selama berjam-jam,” jawab Sherly Bernard.
“ O begitu, perkenalkan nama saya Jake Horner dari Amerika Serikat, kalian berasal dari mana?” ucap Jake.
“O maaf, kami lupa memperkenalkan diri kami, kami berempat berasal dari Inggris, saya adalah Catherine Bernard, ini adalah suami saya James Bernard, ini adalah anak sulung kami Wiliam Bernard, dan ini adalah Sherly Bernard anak bungsu kami,” kata Catherine dengan jelas.
“Apakah kalian kelaparan? Saya punya beberapa makanan,” Jake menawarkan makanan yang dibawanya.
“O terima kasih, kami juga masih mempunyai persediaan makanan, anda di sini sedang apa?” tanya Wiliam.
“Saya sedang berusaha untuk memecahkan suatu teka-teki yang saya temukan di lorong dekat pintu masuk, saya adalah seorang arkeolog”, jawab Jake.
“Kebetulan saya juga adalah arkeolog, apakah teka-teki yang anda temukan adalah ‘ Seberangi kematian membuka elemen kehidupan. Dari pintu bertabur bintang, tersimpan Memori Macto’ ?” tanya James pada Jake.
“O tepat sekali, ternyata kita berdua adalah arkeolog, jadi kalian tersesat saat berusaha memecahkan
teka-teki itu?” Jake bertanya dengan penuh semangat.
“Begitulah,” jawab James.
“Kalau begitu kita bisa memecahkan teka-teki itu bersama-sama,” ajak Jake.
“Ide yang bagus arkeolog muda, anda sudah menemukan sampai sejauh mana?” tanya James.
“Saya sudah tahu sampai elemen kehidupan kedua, tepatnya udara, saya melihat seberkas cahaya di lorong atas sesaat sebelum saya turun ke sini untuk menemukan kalian,” jawab Jake dengan yakin.
“Kalau begitu mari kita melanjutkan perburuan kita,” ajak James kepada Jake dan seluruh anggota keluarganya.
Mereka menaiki anak tangga hanya dengan diterangi oleh sebuah obor. Setelah sampai kembali di tempat Jake melihat seberkas cahaya di lorong yang lurus, Jake menunjukkan asal seberkas cahaya tersebut kepada James.
“Di sana ada seberkas cahaya, berarti di sana ada lubang tempat masuknya udara. Jika kita menghubungkannya dengan teka-teki itu, bisa diartikan sebagai elemen kehidupan kedua yaitu udara,” kata Jake.
“Anda benar, mari kita ke sana ,” James mendukung perkataan Jake.
Setelah berjalan kurang lebih 50 meter, mereka menemukan sesuatu yang mereka cari. Namun mereka terheran-heran dengan apa yang mereka lihat. Sekarang mereka berada di dalam ruangan berbentuk balok berukuran panjang 25 meter, lebar 10 meter dan tinggi 10 meter. Di sana lorong terbagi menjadi sepuluh lorong yang terletak di seberang sisi lorong tempat mereka masuk ke ruangan itu.
“Wow, kita berada di ruangan yang sungguh menantang. Sekarang kita dihadapkan pada pilihan untuk memasuki salah satu dari sepuluh lorong yang ada,” kata Wiliam.
“Ternyata letak lubang tempat masuk cahaya yang kita lihat tadi berada di atas tepat di tengah ruangan ini,” kata Sherly pada ayahnya.
“Pasti ini pun ada maksudnya,” jawab James.
“Apakah ini ada hubungannya dengan elemen kehidupan yang ketiga? Saat kita berada di dalam piramida ini, api hanya dapat berasal dari obor ini,” pikir Jake.
“Oh ada lagi selain obor, matahari juga menghasilkan api,” kata James.
“Oh iya, matahari hanya dapat dilihat dari lubang itu,” kata Sherly sambil menunjuk ke atas tempat lubang itu berada.
“Berarti seharusnya cahaya matahari dari lubang itu akan menunjukkan lorong yang benar,” kata Catherine.
“Namun arah matahari selalu berubah, sekarang pun cahaya matahari dari lubang itu jatuh di ubin tempat kita berdiri,” kata Wiliam.
“Justru karena selalu berubah, pasti ada saatnya cahaya matahari dari lubang itu akan tepat jatuh di salah satu dari sepuluh lorong yang ada. Apakah begitu James?” Jake mulai menemukan jalan.
“Benar Jake, anda benar-benar cerdas.  Jadi sekarang kita tunggu saja sambil makan,” kata James.
“Ayo!” jawab Jake, Catherine, Wiliam, dan Sherly serentak.
Selama mereka makan, cahaya matahari dari lubang itu pun bergeser sesuai arah matahari, dan jatuh tepat di salah satu lorong yang ada.
“Coba lihat! Cahaya matahari dari lubang itu tepat jatuh di lorong ke tiga dari kiri,” kata Catherine.
“Berarti itulah jalan selanjutnya yang harus kita lewati,” James menarik kesimpulan.
Setelah mereka selesai makan, mereka pun melanjutkan perjalanan mereka. Mereka masuk ke lorong ke tiga dari kiri. Awalnya lorong itu datar, kemudian ada anak tangga yang membawa mereka turun. Sampai akhirnya mereka kembali menemukan percabangan lorong. Lorong itu bercabang menjadi dua, satu akan membawa mereka naik, dan yang lainnya akan membawa mereka turun.
“Lorong manakah yang berhubungan dengan elemen kehidupan keempat yaitu air?” tanya Jake pada James.
“Air diperoleh bisa dari sumber air di pegunungan bisa juga dari air bawah tanah,” kata James.
“O iya, air dari pegunungan maupun dari bawah tanah akan tetap mengalir ke laut, bisa diartikan jalan kita berikutnya adalah lorong yang turun ini,” kata Sherly dengan yakin.
“Bagus Sherly, lorong yang turun ini mengibaratkan sebuah sungai yang membawa air menuju laut. Ayo kita jalan!” kata Jake.
Lorong itu awalnya turun, kemudian datar. Setelah kurang lebih berjalan 100 meter, lorong itu membawa mereka naik.
 “Coba dengar! Seperti ada suara gemuruh air terjun,” kata Sherly.
Setelah mereka keluar dari lorong yang gelap. Mereka melihat suatu pemandangan yang indah melebihi pemandangan terindah yang pernah mereka lihat. Sekarang mereka berada di hamparan rumput yang luas. Langitnya dihiasi oleh bintang-bintang yang bersinar. Di sekeliling mereka menjulang tebing setinggi 10 meter. Terdapat air terjun yang indah di depan mereka. Air dari air terjun itu jatuh ke sungai yang mengalir deras menembus lubang di bawah tebing di sebelah kiri mereka. Ternyata mereka telah dibawa sangat jauh oleh labirin tadi ke sebuah tempat yang tampaknya belum pernah terjamah oleh manusia modern.
“Di sana ada sesuatu yang aneh,” kata Jake.
Jake melihat sebuah bongkahan batu yang berbentuk balok dengan ukuran 30 x 30 cm dengan tinggi 1 meter. Mereka semua menuju bongkahan batu itu.
“Lihat! Ada batu berwarna biru langit di atasnya,” kata Sherly.
Jake mengambil batu itu dan melihatnya dengan seksama, sedangkan James mencoba mencari informasi di bongkahan batu tempat batu berwarna biru kehitaman itu berada.
“Jake, coba lihat ini!” kata James saat menemukan sesuatu di bongkahan batu itu.
“Ada tulisan kuno di sini,” James menunjukkan tulisan kuno itu pada Jake.
“Dari pintu bertabur bintang, tersimpan Memori Macto,”  Jake menterjemahkan tulisan kuno itu.
“Ini tulisan yang sudah pernah kita lihat di lorong depan,” kata James.
“Ternyata batu ini yang dimaksud dengan Memori Macto.”
“Coba lihat ini, ada banyak tengkorak  di dasar sungai,” kata Sherly.
Jake datang ke tepi sungai untuk membuktikan kata-kata Sherly. Karena dia terlalu bersemangat, kakinya tersandung oleh batu sungai. Tanpa disadarinya batu yang tadi dipegangnya, terlepas dan jatuh ke sungai menimpa salah satu dari tulang tengkorak itu.
“Aduh!” erang Jake.
“Kenapa?” tanya Sherly
“Aku tersandung.
“Kamu tidak apa-apa? Mari kutolong. Oh ya, batunya mana?”
“Hah? Sepertinya batu itu terjatuh ke dasar sungai,” ujar Jake panik.
Tiba-tiba, terdengar suara riak air seperti ada sesuatu yang bergerak dari dasar sungai. Jake segera berlari untuk melihat apa yang terjadi. Seakan tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat, batu tersebut bercahaya. Kemudian, muncul puluhan sosok manusia tinggi besar yang matanya memancarkan kebencian dan rasa dendam yang membara. Ternyata tengkorak-tengkorak di dasar sungai itu bangkit menjadi manusia.
            “Hai kalian, hari ini akan kubalas semua kebusukan kalian! Hahahaha!” seringai sosok tersebut.
            “Wahai para pengikut setiaku, Telah tiba waktu kita untuk membalas dendam. Habisi mereka semua, jangan biarkan seorangpun lolos!” perintah salah satu sosok yang tampaknya adalah pemimpin mereka.
            “Lari, selamatkan diri kalian!” seru James.
Tak menunggu waktu lama, mereka pun segera berpencar mencari tempat untuk berlindung.
“Ayo ikut aku, Sherly! Mari kita kembali menuju pintu labirin!” ajak Jake pada Sherly.
Namun, mereka berdua telah dikepung dan terpojok. Di belakang mereka menjulang tebing, sedangkan di kiri mereka terdapat sungai. Tanpa berpikir panjang, Jake segera mendorong Sherly ke dalam sungai dan dia pun ikut menceburkan diri.
“Jangan takut, Sherly! Percayalah padaku, ini adalah satu-satunya jalan keluar yang kita miliki. Pegang tanganku, Sherly! Jangan sampai kita terpisah!” pinta Jake.
“Okelah kalau begitu! Tapi bagaimana dengan keluargaku? Mereka masih terkepung di sana. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja, jawabnya.
”Mereka pasti bisa menyelamatkan diri dari orang-orang itu. Tak ada waktu lagi, Sherly. Cepatlah!”
Sementara itu, anggota keluarga Bernard yang lain rupanya telah menemui ajal mereka, mereka terlambat untuk menyelamatkan diri dari kepungan suku Nasca.
”Apakah ini akan menjadi akhir perjalanan kita, James?” tanya Catherine.
”Tidak. Kita ke sini bukan untuk mati. Kita harus bisa mengalahkan mereka,” kata James.
”Hey, mungkin kita bisa kembali masuk ke dalam labirin. Mereka tidak akan bisa mengikuti kita jika kita bergerak cepat!” kata Catherine.
”Tidak usah banyak bicara! Mereka berada di hadapan kita saat ini. Kalian ingin kita yang dibunuh dulu oleh mereka atau kita yang membunuh mereka? Cepat lakukan sesuatu!” bentak William.
”Ya, betul katamu itu, Catherine. Ayo segera lari menuju labirin tadi,” sahut James.
”Hahaha! Sebentar lagi dendam ini akan terbalaskan!” kata kepala suku Nasca yang diikuti oleh teriakan prajurit-prajuritnya.
Namun, ketika mereka berlari menuju ke dalam labirin, dari dalam labirin terdengar suara gemuruh yang keras. Batu-batu yang menyusun labirin itu mulai bergetar dan beberapa mulai berjatuhan. James, Catherine, dan William yang berada dalam labirin kebingungan jalan mana yang akan mereka pilih. Meneruskan perjalanan mereka di dalam labirin itu ataukah berbalik arah keluar dari labirin.
”Ayah, kita harus bagaimana sekarang? Tak ada jalan lain bagi kita untuk keluar kecuali kita menyerah pada mereka,” kata William panik.
”Tidak ada pilihan bagi kita sekarang selain mati. Kini, kita hanya tinggal memilih, ingin mati di tangan mereka atau mati di dalam labirin ini,” sahut Catherine kehilangan harapan.
”Tidak. Pasti ada jalan keluar lain,” ujar James.
”Sudah jelas tidak ada jalan lain lagi, James. Lebih baik kita kembali keluar dari labirin dan melawan mereka. Setidaknya, kita masih ada harapan untuk mengalahkan mereka,” Catherine berkata.
”Cepat kita keluar dari labirin ini, jika tidak ingin mati konyol di sini!” teriak William sambil berlari keluar labirin.
Suara gemuruh itu makin lama makin keras dan batu-batu mulai runtuh di sekitar mereka. Agaknya yang menyebabkan labirin itu runtuh adalah sebuah batu berwarna biru langit yang telah diambil oleh Jake tadi.
Keluarga Bernard berusaha untuk mempertahankan diri dari ancaman suku Nasca. Perlawanan tak berlangsung lama karena jumlah mereka tidak seimbang. Tak dapat dihindari, keluarga Bernard kalah telak di bawah pasukan suku Nasca. Terlihat banyak darah berceceran dari tubuh mereka. Tampaknya, memang hidup mereka harus berakhir di sini.
Dengan kekuatan yang dimiliki oleh suku tersebut, mereka memperbaiki labirin itu kembali utuh seperti sediakala. Tidak terlihat adanya sisa runtuhan-runtuhan labirin itu. Takkan ada yang menyangka bahwa labirin itu pernah hancur.
Sementara itu, Jake dan Sherly hanyut terbawa oleh arus sungai yang deras. Mereka menggapai-gapai mencari batu untuk tempat berpegangan. Akhirnya, mereka sampai di sungai yang berarus lambat.
“ Sepertinya kita sudah berhasil menghindar dari maut. Benarkah, Jake?” tanya Sherly.
“Aku merasa mereka akan menyusul kita dan sebentar lagi akan mencapai tempat ini. Lebih baik, kita mencari tempat untuk berlindung dari mereka,” sergah Jake.
”Jake, lihat disebelah sana ada sebuah gua,” kata Sherly.
”Baiklah, kita segera kesana. Cepat!”
Mereka segera berenang menuju ke gua itu.
”Ayo, ulurkan tanganmu! Aku akan membantumu naik,” ujar Jake kelelahan.
”Ya. Bagaimana sekarang keadaan ayah, ibu, dan William? Oh Tuhanku, apa yang harus kita lakukan?” tanya Sherly putus asa.
“Tenang, Sherly. Semuanya akan baik-baik saja. Jangan pikir apa-apa dulu. Sebaiknya kita menunggu disini sampai keadaannya memungkinkan kita untuk menyelamatkan mereka disana,” ujar Jake simpati.
“Bagaimana aku bisa tenang sementara keluargaku disana berjuang melawan mereka?”
“Sudahlah, yakinlah bahwa mereka akan baik-baik saja! Mereka pasti bisa mengalahkan prajurit itu.”
”Apa yang akan kita lakukan disini? Tak ada apapun disini. Kita mau menunggu sampai kapan, Jake?”
”Setidaknya kira-kira sampai kita tahu, bahwa mereka tidak mengejar kita lagi. Beristirahatlah! Kau pasti lelah dengan kejadian tadi. Aku akan pergi sebentar untuk membasuh mukaku.”
Ketika Jake pergi ke tepi sungai untuk membasuh mukanya, secara tidak sengaja dia melihat batu berwarna biru langit di dasar sungai yang bening itu. Tanpa ragu dia mengambilnya dan bergegas kembali ingin memberi tahu Sherly tentang apa yang ditemukannya.
”Sherly, lihat apa yang kutemukan!” kata Jake dengan gembira.
”Jake, itu hanyalah sebuah batu. Ayolah, aku sudah cukup lelah dengan kejadian hari ini.”
”Tidak, Sherly. Ini bukan batu biasa. Ini batu yang kita ambil tadi. Kau ingat? Batu yang disebut Memori Macto.”
“Jake, apalah arti batu itu? Batu tetaplah batu.”
“Sherly, kau tidak sadar dengan kejadian tadi. Coba ingat! Apa yang terjadi ketika batu ini jatuh diatas tengkorak-tengkorak di dasar sungai?
Secara ajaib tengkorak-tengkorak itu berubah menjadi sekelompok prajurit itu.”
 “Itu berarti batu ini mempunyai kekuatan untuk membangkitkan manusia. Kau mengerti maksudku bukan?”
“Jadi, batu ini bisa digunakan untuk membangkitkan manusia?” tanya Sherly untuk memastikan kata-kata Jake.
“Tepat.”
“Jadi apa yang akan kau lakukan terhadap batu ini?” tanya Sherly basa-basi.
“Niat yang pertama kali muncul di benakku adalah untuk mengoleksi batu ini. Aku adalah seorang kolektor benda-benda langka. Jika aku menemukan benda-benda seperti ini, aku akan segera  menyimpannya dan tidak akan membiarkan seorang pun menyentuhnya,” sahut Jake.
“Tolong kau ceritakan kepadaku apa pun yang belum kuketahui tentangmu, Jake” pinta Sherly.
“Yah, seperti yang sudah kukatakan tadi. Aku adalah seorang arkeolog yang kebetulan menyukai benda-benda langka. Aku mulai tertarik dengan arkeologi sejak aku duduk di bangku SMA. Sejak itu, aku mulai berpergian ke tempat-tempat bersejarah dan terkadang pergi ke sebuah tempat yang masih belum terjamah oleh tangan manusia.”
“Lalu, bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini?”
”Aku mengetahui tempat ini dari sebuah buku yang kutemukan di sebuah perpustakaan tua. Dari buku itu aku mendapatkan semua informasi tentang suku Nasca dan Great Pyramid Astex. Dikatakan bahwa ada sebuah peninggalan dari suku Nasca. Tapi tidak disebutkan benda apa itu. Karena penasaran, aku mengunjungi tempat ini dan ingin mencari benda peninggalan itu.”
”Berarti kau tidak tahu tentang batu ini sama sekali? Apa kau juga tidak tahu tentang labirin itu?”
“Ya, aku tidak tahu apapun tentang batu itu. Tetapi aku tahu tentang labirin itu. Dikatakan dalam buku itu bahwa labirin itu sudah memakan banyak korban. Tetapi anehnya, ketika aku masuk ke labirin itu, aku tidak mengalami kejadian-kejadian aneh dan aku tidak sampai tersesat di dalamnya. Apakah mungkin ini pertanda, bahwa akulah orang yang ditakdirkan untuk memiliki harta peninggalan suku Nasca ini?”
“Oh, mungkin saja. Saat keluargaku masuk ke dalamnya ternyata kami tersesat. Saat itu, aku dan keluargaku sedang berjalan. Tiba-tiba saja ada angin yang berhembus ke arah kami, yang menyebabkan semua obor kami mati. Padahal, dalam labirin tempat kau menemukan kami tadi, tidak ada celah sedikitpun bagi angin untuk masuk. Aneh, bukan?”
“Ya. Untungnya aku bertemu dengan kalian tadi. Jika tidak, mungkin saja kau masih tersesat di dalamnya.”
“Ya, dan aku tidak akan mengalami kejadian mengerikan ini.”
“Menurutmu, ini semua salahku?” tanya Jake.
“Oh bukan Jake, sama sekali bukan. Maafkan aku telah menyinggung perasaanmu. Sudahlah Jake, ayo kita pergi dari sini. Kelihatannya, prajurit tadi tidak mengejar kita lagi. Aku ingin kembali untuk melihat keadaan ayah, ibu serta saudaraku.”
“Baik, Sherly. Tetaplah waspada. Mungkin saja mereka masih berada di sekitar sini.”
Jake dan Sherly berjalan keluar dari gua itu dan mencari jalan untuk kembali menemui anggota keluarga Bernard yang lain.
“Jake, apakah kau tahu jalan lain untuk kembali ke tempat tadi?”
“Mungkin saja. Aku juga tidak tahu dengan pasti. Aku punya kompas yang akan menuntun kita kembali ke sana. Coba lihat! Jarumnya menunjuk ke arah tenggara.”
Mereka berjalan dan terus berjalan. Tanpa terasa hari mulai gelap. Mereka belum juga sampai ke labirin itu. Dengan terpaksa mereka menghentikan perjalanan.
“Sherly, kita harus berhenti. Hari mulai gelap dan kita tidak mempunyai alat penerangan apapun. Percuma saja jika kita terus melanjutkan perjalanan di tengah hutan lebat ini. Yang ada malah kita tersesat nantinya. Sekarang kita beristirahat di sini sampai besok pagi.”
”Tidak bisa, Jake. Aku harus memastikan bahwa keluargaku baik-baik saja. Jika kita menunggu sampai besok, kasihan mereka Jake.”
”Baiklah, tetapi tunggu di sini sebentar.  Aku akan mencari sebatang kayu untuk membuat obor.”
“Okelah Jake, aku akan menunggu di sini.”
Jake berkeliling mencari sebatang kayu. Tak lama kemudian dia menemukannya dan segera dia membuat obor. Setibanya di gua, dia pun mengajak Sherly untuk bergegas mencari keluarganya.
Malam itu terasa panjang bagi mereka berdua. Jake dan Sherly mulai melihat puncak dari Great Pyramid Astex dari kejauhan. Perlahan namun pasti mereka berdua tiba di mulut labirin tempat mereka pertama kali memasuki Great Pyramid Astex. Tidak ada satupun prajurit-prajurit aneh tadi terlihat di sana. Hal ini sungguh terasa aneh bagi mereka.
“Ke mana mereka semua Jake?”
“Aku tak tahu, tapi tetaplah berjalan dengan hati-hati!”
Mereka menyusuri jalan menuju ke tempat mereka menemukan Memori Macto tersebut. Satu, dua, bahkan lima lorong telah mereka lalui dengan mudah, hingga akhirnya mereka tiba di hamparan rumput yang luas. Tempat itu sungguh memiliki nuansa yang berbeda dibanding siang tadi. Sekeliling sungguh sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Mereka melihat mayat keluarga Bernard digantung rendah di tebing sebelah kanan mereka. Kaki dan tangan mereka terkulai bersimbah darah.
“Ayah, Ibu, William apa yang terjadi dengan kalian?” teriak Sherly histeris.
“Sudahlah Sherly. Percuma saja usahamu. Mereka sudah tiada. Lebih baik kita coba kekuatan batu ini. Semoga dapat menghidupkan kembali keluargamu,”
“Berikan batu itu padaku Jake. Cepat! Aku akan mencobanya sendiri,”
Namun, tak terjadi apapun. Ketiga anggota keluarga Bernard tetap terbujur kaku. Tanpa mereka sadari dari puncak tebing bermunculan prajurit-prajurit Toruc Macto.
“Selamat malam mangsa-mangsaku sekalian, akhirnya kalian datang juga. Sekarang kalian tidak mungkin lolos lagi. Hahahahahaha.”
“Ayo kita segera lari dari sini Sherly!” ajak Jake.
“Pergilah Jake. Jangan khawatirkan aku lagi. Aku sudah terlalu lelah untuk berlari. Lagipula, aku ingin mati di sini dengan keluargaku.”
“Jangan bodoh. Tidak mungkin aku meninggalkanmu dan membiarkanmu terbunuh begitu saja,”
“Cukup sudah perbincangan kalian. Kalian akan kubawa menghadap Toruc Macto,” ujar prajurit itu.
Sesampainya di hadapan Toruc Macto.
“Apa kalian tahu mengapa batu itu tidak bisa membangkitkan keluargamu?” tanya Toruc Macto dengan angkuh.
“Lepaskan kami!” teriak Jake dan Sherly.
“Karena batu itu hanya bisa digunakan untuk membangkitkan kami, suku Nasca.
“Kau pembohong!! Tidak mungkin batu ini hanya bisa membangkitkan kalian! Cuuiih!” kata Jake kesal.
“Hey, berani-beraninya kau meludahi Toruc Macto! Tapi, kalian masih beruntung anak muda. Kali ini aku masih sabar. Seharusnya aku sudah membunuh kalian, tapi aku punya hukuman lain untuk kalian.” bentak salah satu prajurit.
“Terserah apa katamu, tapi sekarang kami mau diapakan?” tanya Sherly dengan nada ketakutan.
“Kalian akan menjadi korban bakaran untuk dewa-dewa kami. Dewa-dewa pasti akan senang menerimanya. Daripada kalian dibunuh dan tidak membawa manfaat apa-apa bagi kami, lebih baik kalian yang dikorbankan untuk para dewa. Jika dewa senang, mereka akan memberikan kemakmuran bagi tanah kami dan kami bisa hidup lebih baik,” sahut salah seorang prajurit.
“Prajurit-prajuritku, siapkan altar persembahan bagi dewa-dewa. Tidak boleh ada kesalahan sedikitpun atau dewa akan mengutuk tanah kita lagi. Segera ikat mereka di tiang pengorbanan. Jangan sampai mereka lepas,” suruh Toruc Macto.
“Jake, kita akan mati. Aku tak menyangka segalanya akan berakhir disini,” kata Sherly sambil menangis.
“Sherly, sudahlah. Aku tak ingin melihat air matamu menetes lagi. Seandainya saja aku bisa memberikan bahuku untukmu saat ini.”
“Tidak perlu, Jake. Hidupmu akan segera berakhir. Mengapa kau malah memikirkan diriku?
“Aku akan selalu memikirkanmu, Sherly. Selalu.”
“Apa maksudmu, Jake?”
“Ya, aku menyukaimu saat pertama kali kita bertemu dalam labirin itu. Tanpa terasa, aku juga ingin melindungimu dan memberikan rasa aman bagimu. Aku mencintaimu, Sherly.”
“Apakah kalian tidak punya pesan-pesan terakhir sebelum kalian meninggalkan dunia ini, hah? Hahahaha,” ujar Toruc Macto.
“Jake, aku juga mencintaimu. Kalau bukan karena kau aku mungkin sudah mati. Tapi sayang kita harus berakhir dalam keadaan seperti ini.
“Hanya itu pesan terakhirmu, nona? Teman-teman cepat nyalakan api. Toruc Macto sudah tidak sabar mempersembahkan korban ini bagi para dewa.”
Jake tersenyum pada Sherly. Dia sudah tahu bahwa Sherly juga mencintainya. Sambil menggenggam Memori Macto, Jake berdoa agar dirinya dan Sherly bisa bertemu lagi di alam sana. Api mulai menyala, semakin besar, dan membakar mereka berdua. Sekali lagi Jake menatap mata Sherly dan Sherly menatap mata Jake.
Toruc Macto dan para prajuritnya tertawa dan segera menyelenggarakan pesta besar-besaran. Tetapi mereka lupa akan khasiat dari Memori Macto yang hanya bisa menghidupkan mereka selama 13 jam.
Lima tahun kemudian...
“Bu, aku tidak ingin mengunjungi tempat ini. Tempat ini sangat tidak menyenangkan. Apakah tak sebaiknya kita jalan-jalan ke Melbourne, Sidney atau China?”
“Hey, kita sudah sampai dan kau menyesalinya? Kenapa kau ikut kalau begitu?” tanya ayahnya.
“Ya, setelah kita melewati labirin-labirin tadi, kita menemukan tempat ini. Indah bukan? Disana ada air terjun dan sebuah sungai berair jernih. Aku ingin kesana untuk membasuh wajahku,” ujar ibunya.
“Ayah, Ibu! Lihat apa yang kutemukan! Sebuah batu berwarna biru langit yang sangat berkilau.”
“Dimana kau menemukannya?” kata ayahnya.
“Disini, tepat di tengah-tengah bekas bakaran ini,” ujar sang anak.
“Lihat! Aku juga menemukan sesuatu. Kelihatannya di dasar sungai ini ada tulang lengan manusia,” ujar ibu anak itu.
Anak itu berlari dengan cepat dan tiba-tiba terjatuh sehingga batu itu terlepas dari genggaman tangannya.
 “Aduh, sakit!” erang anak itu.
Batu itu melayang dan mendarat tepat di atas tulang lengan manusia yang ditemukan ibunya.
Dan kejadian itu pun terulang kembali...
*************
Made by :  
Asaf, Marco, Katarina, Candra, Elvira, Monica, Hernandi
Maret 2010